- By
- 04 Oct 2021
- 1369
Pahlawan Milenial; Rebahan untuk Keselamatan
Archangela Priscilla Lagut
Siswi
SMA Katolik St. Fransiskus Saverius Ruteng
Prolog
Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia, kata pahlawan berarti orang yang menonjol karena keberanian
dan pengorbanannya dalam membela kebenaran; pejuang yang gagah berani. Dalam
pandangan mainstream, kata pahlawan
amat identik dengan gambaran seorang manusia super yang memiliki fisik besar
sambil memegang peralatan bersenjata. Gambaran seperti ini sering kita temukan,
misalnya dalam karya sastra novel, film, dan buku-buku sejarah. Namun demikian,
di zaman sekarang ini pahlawan yang dibutuhkan bukanlah pahlawan yang memegang
senjata atau bambu runcing ala pejuang kemerdekaan RI, melainkan insan yang
dapat membawa pembaharuan di dalam kehidupan bermasyarakat.
Saat ini, masyarakat
manusia di seluruh dunia sedang diserang secara besar-besaran oleh wabah virus Corona (Covid-19). Sebagai warga dunia, atau secara lebih sempit Warga
Negara Indonesia (WNI), kemalangan ini mengakibatkan berbagai dampak buruk bagi
seluruh bidang kehidupan kita. Covid-19 menyerang
kita semua di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, pendidikan, dan
lain-lain. Dalam semua bidang tersebut, kita tidak dapat bergerak banyak,
apalagi dengan adanya Pemberlakuan Pembatasan kegiatan Masyarakat atau PPKM (Community Activities Restrictions
Enforcement).
Dalam
situasi genting ini, kita tentu membutuhkan adanya sosok pahlawan yang datang
untuk membawa keselamatan. Akan tetapi, pertanyaan mendasar yang amat penting
adalah; siapakah sosok pahlawan itu? Pahlawan seperti apa yang betul-betul
dapat membawa kita pada keselamatan? Apakah kita hanya diam, pasrah, dan
menunggu datangnya penyelamat atau kita mesti berani menumbuhkan karakter
kepahlawanan dalam diri kita masing-masing? Ayo beranikan diri!!!
Covid-19 dan Penjajahan Baru
Pada dasarnya, Covid-19 adalah sebuah pandemi atau
wabah yang menyerang kesehatan manusia. Menurut Merriam Webster Dictionary (https://www.merriam-webster.com/dictionary/COVID-19,
diakses 30 Agustus 2021), Covid-19 adalah
penyakit pernapasan ringan hingga berat yang disebabkan oleh virus corona (sindrom pernapasan akut akibat
virus dari genus Betacoronavirus). Penyebaran
virus ini dapat berlangsung melalui cairan pernapasan atau bahan-bahan yang
terkontaminasi oleh virus corona yang
menyebabkan timbulnya gejala demam, batuk, sesak napas, pneumonia (infeksi
paru-paru), hingga kegagalan pernapasan atau kematian.
Berdasarkan laporan JHU
CSSE COVID-19 dan Our World in Data (https://github.com/CSSEGISandData/COVID-19,
diakses 26 Juli 2021), jumlah kasus baru Covid-19
di Indonesia per tanggal 18 Juli 2021 adalah 44.721 dengan rata-rata
mingguan sebanyak 50.039. Hal ini menunjukkan bahwa virus yang mewabah dan
melanda seluruh dunia ini adalah ancaman serius yang mematikan. Wabah virus ini
dirasakan oleh semua orang di seluruh dunia, tanpa terkecuali. Mobilitas
manusia yang tinggi menyebabkan virus ini menyebar dengan sangat cepat dan
hampir tidak dapat dikendalikan.
Meskipun demikian, jika
dicermati secara teliti pandemi ini bukanlah sekadar wabah penyakit biasa yang
berhubungan dengan kesehatan manusia. Covid-19
juga merupakan sebuah bentuk penjajahan baru. Berbeda dari penjajahan pada
umumnya, virus ini menjajah kita secara diam-diam, yaitu dengan membatasi
sebagian besar aktivitas produktif yang sudah menjadi kebiasaan sehari-hari.
Kita dijajah oleh
kenyataan bahwa sebagian besar bidang kehidupan tidak dapat berjalan normal
seperti sediakala. Di bidang politik, kebijakan-kebijakan yang sudah
direncanakan tidak dapat dijalankan. Di bidang ekonomi, banyak orang mengalami
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan menjadi pengangguran, pendapatan semakin
menurun, dan taraf hidup secara otomatis menjadi lebih rendah. Selain itu,
hubungan sosial masyarakat harus dibatasi sebab virus corona dapat menyebar dalam kerumunan manusia.
Sebagai pelajar, virus
ini sungguh menjadi penyebab berkurangnya kualitas belajar yang baik. Pelajar
tidak lagi dapat masuk sekolah seperti biasa untuk berjumpa dengan guru dan
teman-teman. Di samping itu, proses pembelajaran menjadi tersendat atau tidak
lancar, sebab guru dan siswa dipisahkan oleh jarak fisik yang tak terhubungkan.
Meskipun dibantu oleh sistem pembelajaran daring (online), tatap muka langsung antara guru dan siswa serta antarsiswa
tentu saja memberikan warna yang lain dan lebih bermakna.
Penjajahan
baru oleh Covid-19 tampak tidak hanya
menyerang imunitas atau kekebalan tubuh manusia. Virus ini juga menyerang
semangat hidup, sehingga tidak jarang dijumpai adanya orang yang putus asa
dengan keadaannya. Dalam semua hal, pergerakan kita dibatasi oleh jarak fisik (physical distancing) dan sosial (social distancing). Covid-19 dianggap sebagai penjajah justeru karena ia menyebabkan
banyak keterbatasan dalam hidup manusia. Tenaga dan energi negara dan
masyarakat banyak dihabiskan untuk mengurus kesehatan, sehingga bidang-bidang
lain menjadi tidak berjalan semestinya. Jika kita ingin bangkit dan menyerang, kita
tidak hanya dapat mengandalkan senjata seperti yang digunakan oleh superhero dalam film-film Hollywood!!!
Rebahan untuk keselamatan
Banyak yang berpikir
bahwa menjadi pahlawan haruslah seorang yang gagah perkasa dan pandai
menggunakan senjata. Ada juga yang berpikir bahwa pahlawan adalah mereka yang
sudah dewasa. Pernyataan ini benar-benar salah; menjadi seorang pahlawan
tidaklah memiliki syarat-syarat mutlak dan ketat, asalkan kita berani dan percaya
diri pastilah kita semua dapat menjadi pahlawan.
Menjadi pahlawan dalam
situasi kurang kondusif seperti sekarang ini sangatlah tidak mudah; pada saat
ini orang-orang lebih senang rebahan, bermalas-malasan tetapi tahukah kamu
bahwa hal ini merupakan bentuk kepahalawanan? Pada zaman dahulu para pahlawan
berperang dengan senjata yang menguras tenaga, pertumpahan darah terjadi di mana-mana,
ribuan nyawa melayang begitu saja, sama seperti kondisi saat ini di mana banyak
nyawa yang melayang akibat serangan penjajah yaitu Covid-19. Banyak upaya perlawanan telah dilakukan, namun penjajah
ini tetap ada bahkan mendatangkan penjajah baru yang lebih sadis. Dalam kondisi
saat ini kita tidak mugkin mengunakan senapan ataupun mambu runcing untuk
melawan.
Penjajahan ini masih
akan terus berlanjut jika segala perlawanan masih dilakukan secara individual,
sama halnya seperti sapu lidi, jika dipatahkan satu per satu maka akan mudah,
tetapi jika dipatahkan secara bersamaan maka akan sulit. Jika kita secara
bersama bangkit pasti dapat melawan penjajah ini.
Hal yang dapat
dilakukan pertama kali adalah hindari sikap individualisme atau sikap yang
mementingkan kepentingan pribadi di atas kepentingan bersama. Dalam kondisi
saat ini masih banyak masyarakat yang egois dengan tahu dan mau melanggar
prokes dan beranggapan bahwa Covid-19
ini adalah bentuk permainan politik dari tenaga-tenaga kesehatan di Indonesia,
untuk dapat mempergunakan uang negara secara seenaknya. Pemikiran sempit inilah
yang membuat penjajahan dari Covid-19
terus merajalela, banyak memakan korban jiwa dan menimbulkan banyak gejolak
masyarakat.
Saat ini pahlawan yang
dibutuhkan adalah pahlawan yang dapat memberikan pemahaman dan membawa
perubahan di dalam lingkup masyarakat, selain itu pahlawan yang dibutuhkan saat
ini adalah pahlawan yang dapat menjadi contoh masyarakat, salah satunya menjadi
pahlawan rebahan.
Bagi segelintir orang
rebahan merupakan suatu hal yang hanya dilakukan oleh orang yang malas atau
orang yang tidak memiliki pekerjaan. Namun rebahan adalah hal kepahlawanan yang
dapat kita lakukan di tengah kondisi Covid-19
ini.
Dengan rebahan kita
bisa memulihkan energi dan tidak ada hal yang dilakukan, itu berarti tinggal
diam di dalam rumah tanpa ada kontak fisik dengan orang lain. Hal tersebut dapat
meminimalisir potensi penularan Covid-19
di kalangan masyarakat, apalagi dengan jumlah kasus Covid-19 yang kian bertambah tanpa aba-aba.
Namun, di samping itu
masih banyak masyarakat yang berkeliaran untuk keperluan yang sebenarnya dapat
dilakukan dari rumah. Selain itu timbul gejolak masyarakat tentang program PPKM
yang mana masyarakat harus tinggal di rumah saja selama masa waktu yang
panjang. Belum lagi jika kasusnya melonjak naik maka program PPKM ini sudah
dipastikan akan berjalan lebih panjang lagi, namun sampai saat ini hanya
sebagian yang menyadari bahwa hal tersebut bermanfaat; masyarakat beranggapan
bahwa kebijakan ini sangat merugikan mereka dalam banyak aspek.
Sudah seharusnya
masyarakat perlu diberikan penyuluhan edukasi mengenai bahaya Covid-19 dan manfaat mematuhi prokes. Namun,
melakukan kegiatan tersebut secara luring sangatlah mustahil disaat pandemi
seperti ini apalagi masyarakat dilarang berkumpul. Kita masih bisa melakukannya
secara daring dengan menggunakan media berbasis teknologi digital (internet).
Zaman ini adalah zaman
teknologi, di mana semuanya dapat saling terhubung meskipun dipisahkan oleh
jarak. Saat ini banyak media ataupun situs-situs penunjang yang telah
diluncurkan, dari pada digunakan untuk hal yang kurang bermanfaat lebih baik
digunakan untuk hal yang lebih bermfaat. Salah satunya adalah untuk kegiatan
penyuluhan. Salah satu media yang dapat dan cocok untuk digunakan adalah
tik-tok. Tik-tok adalah sebuah jaringan sosial dan platform video musik Tiongkok yang diluncurkan pada September 2016
oleh Zhang Yiming, pendiri Toutiao. Aplikasi tersebut membolehkan para pemakai
untuk membuat video musik pendek mereka sendiri. Tik-tok juga merukapakan
aplikasi yang sedang booming saat
ini, hampir seluruh masyarakat Indonesia menggunakan aplikasi ini.
Tiktok dijadikan media
yang tepat karena menyediakan fitur-fitur yang unik meliputi musik, animasi-animasi
lucu dan keren. Hal inilah yang menjadi daya tarik tersendiri dari aplikasi ini. Sebagaimana yang
dilaporkan statisa, ada 10 juta pengguna tiktok aktif di Indonesia, sehingga tiktok
jelas adalah media yang sangat efektif untuk kegiatan penyuluhan ini.
Jadi, kita sudah
melakukan perlawanan terhadap penjajah yaitu Covid-19. Menjadi pahlawan tidaklah memiliki syarat, namun dengan
tekat dan keberanian kita semua akan bisa.
“Sakit
dalam perjuangan itu hanya sementara., namun jika menyerah, rasa sakit itu akan
terasa selamanya” (Kevin Sanjaya Sukamuljo)