- By
- 29 Sep 2021
- 1855
MEMBONGKAR REZIM KEMAPANAN; MEMERDEKAKAN MANUSIA DARI BELENGGU AGAMA DAN BUDAYA
Oleh: Felin Angkat, Afri Mudirianti, dan Fadran Hasan
1.
Pengantar
“Man
is born free, but everywhere he is in chains”. Kalimat
pembuka dalam karya termasyur Jean Jacques Rousseau, The Social Contract, ini tidak hanya merupakan kata-kata filosofis
tetapi juga menggambarkan hampir seluruh kenyataan hidup manusia. Setiap anak
manusia dilahirkan ke tengah dunia dalam keadaan telanjang dan tabula rasa.
Namun demikian, kelahiran itu tidak pernah menjadi proses yang teralienasi dari
suatu konteks lingkungan tertentu. Kelahiran selalu dijemput oleh sebuah ruang
hidup yang sudah ada dan sudah dibentuk oleh manusia. Ruang hidup itulah yang
kita sebut sebagai konteks kultural (budaya) dan keagamaan.
Situasi pasca kelahiran adalah
situasi di mana manusia bertumbuh dan berkembang. Pertumbuhan dan perkembangan
anak manusia terjadi dalam konteks budaya dan agama yang memiliki kaidah-kaidah
dan norma-norma hidup tertentu. Di dalam konteks tersebut, terdapat perintah
dan larangan, kebiasaan-kebiasaan yang mapan dan menjadi adat, serta
dorongan-dorongan moral lain yang berusaha membentuk kepribadian seseorang.
Dengan demikian, meski terlahir bebas dan telanjang, manusia ditempatkan dalam
suatu mal yang membentuk kerangka berpikir, bertidak,dan berperasaan sesuai
dengan kultur yang sudah mapan sejak lama.
Kisah Rijal dalam novel Semasa Kecil Di Kampung (SKdK) karya Muhamad Radjab menunjukan
betapa kuatnya pengaruh tradisi dan agama dalam pembentukan karakter manusia,
terutama dalam kaitan dengan hasrat menemukan tantangan baru (modernisasi). Hal
tersebut menyebabkan turbulensi antara keyakinan purba dan pengetahuan modern.
Demikianlah manusia yang terlahir dan mendapatkan didikan dalam masyarakat yang
memegang teguh keyakinan-keyakinan purba. Kompleksnya problematika ini seakan
mengingatkan pada tesis Samuel P. Huntington dalam bukunya yang berjudul The Clash of Civilization (1996) “Dunia
ini tidak akan damai karena dunia akan ditandai oleh pertentangan
antarperadabaan.” Sebagai konsekuensi logisnya, Rijal yang hanya bereksplor dan
berkutat pada struktur mal yang sudah ada mengalami benturan internal dalam
dirinya.
Rijal adalah seorang anak yang hidup
penuh dengan pergulatan sebagai anak Minang. Bahkan dia lahir ketika
Minangkabau dan sebagian daerah lainnya diserang wabah kolera yang tentu saja
siap merenggut kematian setiap harinya. Di usianya yang masih bayi, wabah ini
merenggut nyawa ibunya. Rijal kemudian hanya hidup bersama ayah dan kakeknya
dalam ruang lingkup tradisi dan agama Minangkabau. Namun, kehidupan tanpa istri
rasanya hampa bagi sang ayah, lalu ia mengawini 3 orang perempuan dari kampung
yang berbeda. Kehidupan Rijal yang barupun dimulai bersama 3 ibu tirinya.
Sebagai anak Minangkabau yang
tumbuh, kembang, dan hanya bertumpu pada kebudayaan Minangkabau, Rijal selalu
mengisi pengalaman masa kecilnya dengan mengundang pandangangan kritis terhadap
semua hal. Rijal kecil tak cuma menghabiskan waktu untuk bermain-main saja,
melainkan selalu menggali banyak hal terkait perilaku sosial, pendidikan, dan
agama. Rijal yang kerap menemukan hal yang bertolak belakang dengan kebudayaan
Minang menuntunnya mendapatkan gelar kafir dari guru ngajinya.
Pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan Rijal, cenderung berifat skeptis
terhadap agama. Meski begitu Rijal tidak pernah berhenti untuk menggali dan
mendalami banyak hal . Semakin dalam Rijal mencari, semakin banyak pula
pertanyaan-pertanyaan yang tidak bisa terjawab, sehingga muncul hasrat untuk
merantau yang dinilainya mampu membuka tirai berpikir.
Novel Pater Pancali yang ditulis
oleh Bibhutibhushan Banerji bercerita tentang kehidupan di desa Nischindipur,
Bengali, di lanskap terpencil tahun 1910-an
yang jauh dari peradaban. Dalam
cerita ini, Durga merupakan tokoh utama
bersama adiknya Apu. Awal Novel menceritakan Durga, bersama anak-anak lainya,
yang kerap mencuri buah dari kebun tetangga. Akibat ulahnya itu, Sharvajaya,
sang ibu, sering pusing dengan kelakuan anak gadisnya itu. Sebenarnya Durga
punya alasan mencuri buah tersebut, yaitu demi sang bibi, Indir (seorang jompo
yang tidak memiliki keluarga, selain Sharvajaya, ibu Durga). Ibu Sharvajaya
sendiri acapkali menelantarkan kakaknya itu, karena dianggap menjadi beban
keluarga. Tetapi di balik itu, kekesalan ibu Sharvajaya juga dilatarbelakangi
oleh kehidupan keluarganya yang tidak dinafkahi oleh sang suami. Dia
membesarkan kedua anaknya seorang diri.
Aktivitas masyarakat di desa
Nischindipur nyatanya tidaklah terpaku dengan harta benda melainkan kehidupan
dengan berbagai persoalan ekonomi sehingga
mereka hidup di bawah garis
kemiskinan. Sebagai anak desa, Durga dan Apu menjalani keseharian dalam
kesederhanaan. Meskipun kehidupan mereka serba kekurangan dengan kondisi tempat
tinggal yang tidak layak ditempati, mereka justru memciptakan sudut pandang
yang berharga. Sudut pandang mereka berbanding terbalik dengan masyarakat
lainnya yang berkembang di daerah tersebut yang masih tergolong sempit yang.
Ayah mereka, Harihar, juga menganut sudut pandang yang serupa dengan kedua
anaknya yaitu bahwa pendidikan akan mampu mengubah kehidupan. Ayah Harihar
merupakan seorang Brahmana, yaitu golongan kasta tertinggi. Di desa
Nishchindipur, menjadi seorang Brahmana adalah keistimewaan, sekalipun tidak
sanggup menjamin kehidupan ekonomi yang baik.
Gambaran kondisi masyarakat yang
terasing dari ilmu pengetahuan melahirkan daya pikir yang terikat tradisi
seperti masih menerapkan sistem patriarki. Pemberlakuan sistem ini memenjarakan
kebebasan kaum wanita. Implementasi dari sistem ini ialah Durga yang tidak diperbolehkan
bersekolah karena merupakan seorang wanita. Sistem ini justru hanya menempatkan
kodrat laki-laki selaku warga nomor satu. Apu yang seorang laki-laki sekalipun
karena merupakan anak yang terlahir dari keluarga tidak mampu terpaksa
menyimpan cita-citanya untuk bersekolah dan hanya bisa bersekolah di rumah
bersama ayahnya. Hal ini menunjukkan bahwa seolah-olah kaum wanita dan kaum
miskin harus terpenjara dalam hak yang terkunci dikarenakan memilih bukan lagi
sesuatu yang bisa di lakukan secara independen. Dalam hal ini, wanita
diharuskan untuk menjalin ikatan pernikahan, bukan semata-semata karena umur
telah matang tapi hal ini dapat menjadi solusi dalam meringankan beban
keluarga.
Dalam petualangan Durga dan Apu
yang konsisten memburu ilmu pengetahuan, Apu harus ikhlas kehilangan sosok
kakaknya. Sebelumnya Durga terserang penyakit hingga kemudian dirinya wafat.
Setelah kepergian kakaknya, Apu
dihadapkan dengan sepupunya yang berasal dari keluarga yang berharta. Dia
adalah Shuresh anak lelaki yang lebih besar dari sepupu ayahnya yang bernama
Nilmani Ray. Shuresh bersekolah di Kalkutta dan mengambil sekolah Inggris.
Karena perbedaan materi keluarga, Apu dan Shuresh pada akhirnya tidak bisa
menjadi teman. Keluarga Apu yang sudah tidak tahan lagi tinggal di
Nishchindipur pun berencana pindah ke Benares berharap disana bisa mendapatkan
kehidupan yang lebih baik. Disisi lain Apu selalu mengingat
kenangan-kenangannya bersama sang kakak, Apu merupakan sosok yang sangat
mencintai kakaknya melebihi sang ibu sekalipun.
2.
Kemapanan
Agama dan Budaya; Konteks Dunia Timur
Suatu
ketika, rombongan makhluk luar angkasa (alien) datang
mengunjungi bumi. Para pejabat bumi dengan senang hati menyambut mereka, lalu
mempersilakan mereka melihat-lihat kondisi bumi selama beberapa hari. Menjelang
pulang ke planetnya, seorang makhluk luar angkasa berkata; ‘Ada sesuatu yang
aneh selama saya berkeliling di sini. Saya tidak pernah menemukan perempuan
pada malam hari.’ Seorang pejabat bumi dengan santai menjawab; ‘Kami menjaga
perempuan pada malam hari untuk menghindari mereka dari para penjahat.’ Alien
itu balik berkata; ‘Oh, ya, ternyata berbeda. Di planet kami, binatang buas
yang dipenjarakan dalam kandang agar tidak menimbulkan kekacauan dalam hidup
bersama.’
Tesis Samuel Huntington dalam
karyanya The Clash of Civilizations and the Remaking
of the World Order menyebutkan
adanya garis-garis tegas yang membedakan peradaban dunia Barat dan Timur.
Menurut Huntington, setelah berakhirnya Perang Dingin pada awal 1990-an,
benturan yang terjadi di dunia bukan lagi berciri ideologis (kapitalisme dan
komunisme), melainkan bercorak kultural (1996:21). Di satu sisi, Barat
digambarkan sebagai dunia maju yang sekular, profan, dan sejahtera secara
ekonomi. Sementara itu, di sisi lain, Timur adalah belahan dunia yang
terbelakang, miskin, sarat akan keyakinan mitis-magis, dan kental dengan
tradisi dan agama.
Dikotomi Barat dan
Timur kemudian dijelaskan dalam sudut pandang hak asasi manusia (HAM).
Liberalisme yang berkembang di dunia Barat membentuk corak kultural yang
menghargai hak-hak asasi manusia dan menjunjung tinggi kebebasan, termasuk
dalam hal kesetaraan gender. Dalam kaitan dengan hal ini, terdapat dua faktor
utama yang menghambat perubahan sosial menuju kebebasan dan kultur hak asasi
manusia di belahan dunia Timur.
a.
Kemapanan Religius
Secara umum,
pembicaraan tentang dunia Timur tidak akan lengkap tanpa penggambaran mengenai
adanya agama-agama. Atmosfer dunia Timur amat kental dengan pengaruh yang besar
agama dalam seluruh bidang kehidupan umat manusia. Berbeda dengan konteks
masyarakat di belahan bumi Barat, masyarakat dunia Timur cenderung mementingkan
keberadaan agama dan ajaran-ajaran teologinya. Ajaran agama dipandang sebagai
panduan yang paling penting dalam hidup sosial bermasyarakat. Nafas agama yang
amat kuat itu pada suatu waktu menyebabkan adanya kemapanan ajaran, nilai,
bahkan pemuka agama. Ajaran agama dianggap sebagai panduan satu-satunya yang
harus dipatuhi oleh semua orang dan nilai-nilai kehidupan tidak akan ada dalam
ajaran di luar agama. Lebih dari itu, para pemuka agama menjadi manusia nomor
satu yang steril dari dosa dan kesalahan alias serba benar.
1. Fundamentalisme
Agama sebagai Akar Sikap Eksklusif
Menurut
Collins Dictionary, fundamentalisme
adalah keyakinan pada bentuk asli suatu agama atau teori tanpa keterbukaan pada
gagasan-gagasan baru. Dalam kaitan dengan agama Fundamentalisme merujuk pada,
pertama keyakinan pada ajaran purba dan kedua sikap eksklusif
terhadap perubahan dan kebaruan. Fundamentalisme adalah paham yang memegang
teguh basis ajaran agama dengan kebenarannya diletakkan pada konsep-konsep
fundamen agama tersebut. Fundamentalisme menjadi akar permasalahan, ketika umat
beragama yang bersangkutan memiliki sikap radikal, eksklusif, anarkis, dan
tidak mau menerima perbedaan. Fenomena inilah yang terjadi dalam novel Semasa Kecil di Kampung.
“Pada
suatu hari, sedang mengajarkan langit dan bumi, paman saya menerangkan bahwa
langit pertama terbuat dari tembaga, langit kedua dari perak, langit ketiga
dari emas, langit keempat dari intan, dan di atas inilah matahari berguling-guling,
ditarik dengan rantai emas oleh malaikat beribu-ribu. Manurut kata beliau,
matahari mengelilingi bumi, bukan bumi mengelilingi matahari, seperti yang
diajarkan di sekolah (SKdK
hal. 99).
Kutipan ini menunjukan, kelompok
fundamentalis selalu berusaha melibas keberadaan ajaran lain. Sebab ajaran lain
dianggap selalu identik dengan kafir dan haram. Kaum fundamentalis, selalu
menjaga ajaran iman agar selalu suci dan murni(puritanisme), sambil bersikap
tertutup(eksklusif) terhadap kaum/ajaran lain.
Bahaya fundamentalisme agama
terletak pada sikap memusuhi ilmu pengetahuan. Padahal ilmu pengetahuan pada
dasarnya lahir sebagai jawaban atas problem hidup manusia yang kompleks. Ketika
orang beragama menutup diri terhadap ilmu pengetahuan maka ia dikendalikan oleh
takhayul yang tidak rasional dan membatasi kebebasannya. Hal ini tentu saja
tidak sesuai dengan hakikat manusia yang bebas dan bermartabat.
Konteks fundamentalisme agama di
India dikisahkan secara amat gamblang dalam Pater
Pancali. “Gerombolan para perampok itu sebagian besar dari
orang-orang kasta rendah, orang-orang Govala, Bagdi, dan Bauri. Mereka adalah
orang yang kuat dan ulet, yang
mahir menggunakan pentungan kayu dan tombak. Mereka menyembah dewi yang dikenal
sebagai Kali para perampok, dan mereka mendirikan kuil-kuil untuk menghormat
dewi itu”(PP, hal. 13). Kutipan
ini mendeskripsikan sekelompok kecil
masyarakat, yang masih terikat pada keyakinan purba. Keterikatan yang sangat
erat ini tentu saja akan berpotensi memunculkan tindakan yang menyimpang,
dikarenakan kelompok fundamentalis akan berusaha untuk selalu mempertahankan
kemurnian ajarannya,
sambil bersikap tertutup terhadap ajaran lain.
2. Ironi Agama Eskatologis
Menurut
Merriam-Webster Dictionary, eskatologi
adalah cabang ilmu teologi yang berkonsentrasi pada kejadian-kejadian akhir
sejarah dunia atau manusia. Dengan kata lain eskatologi berhubungan dengan
kematian, akhir dunia, atau nasib akhir kehidupan manusia. Selain itu, Cambridge Dictionary secara singkat mendefinisiskan
eskatologis sebagai bagian teologi yang berurusan dengan kematian atau kiamat.
Eskatologi secara religious semua agama tentu saja memilikiki orientasi pada
keselamatan kekal setelah kematian, meski demikian orientasi tersebut akan
menjadi kejanggalan ketika janji-janji masa depan setelah kematian bersifat
tidak rasional dan mengekang manusia yang masih hidup. Surga dan neraka adalah
dua lokus eskatologis yang seringkali dijadikan alat oleh agama-agama untuk
membatasi kebebasan manusia dalam mencapai kebahagian dan kesejahtraan nyata di
tengah dunia.
“Menurut
takhayul yang di pusakainya dari nenek moyangnya, siapa yang pandai menulis,
jarinya akan dikerat-kerat di dalam neraka (SKdK hal. 18). Kutipan ini secara
jelas menunjukan bahwa janji eskatologis agama membatasi akses manusia pada
ilmu pengetahuan, dengan kata lain, manusia dipaksa untuk memusuhi ilmu
pengetahuan yang bermanfaat bagi kehidupan demi janji keselamatan yang tidak
rasional.Tidak tanggung-tanggung agama eskatologis memberikan gambaran yang
paling angker, yang membuat orang takut hidup secara rasional.
Selain
gambaran yang paling menyeramkan surga yang paling membahagiakan juga diumbar
sebagai janji yang tidak masuk akal. Hak Asasi Manusia, kebebasan, dan
kesetaraan gender, dikorbankan demi mencapai janji kebahagiaan yang muluk-muluk
itu. ‘Seorang dari kiai-kiai itu pernah berkata kepada pengikutnya, “Istri
saya tidak akan jatuh kedalam neraka, seketika melalui jambatan siratalmustakim
di akhirat, sebab dia boleh bergantung kepada ujung serban saya”. Dengan
perkataan lain ia bermaksud, celakalah orang yang tiada kiai yang akan
menolongnya”. Sebab itulah kiai-kiai banyak yang berbini empat, atau lebih’ (SKdK hal. 222). Dalam
hal ini, dengan menggunakan neraka sebagai ancaman menyeramkan martabat
perempuan direndahkan dan kesetaraan gender sama sekali tidak berarti.
b.
Kemapanan Budaya
Selain agama,
salah satu pranata sosial yang berperan penting dalam proses penindasan manusia
menurut kedua novel ini adalah sistem budaya. Berjalan bersamaan dengan praktik
sistem agama, budaya setempat turut membentuk manusia menjadi laki-laki yang
serba berkuasa dan perempuan yang penurut, pekerja, pelayan, dan warga kelas
dua. Institusi budaya di Minangkabau dan desa Nischindipur
menjadi panduan bagi gerak-gerik masyarakat yang acapkali menempatkan perempuan
pada posisi warga kelas dua.
1. Privilese
Laki-laki
Berdasarkan Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI), privilese diartikan sebagai hak istimewa. Istilah ‘privilese
laki-laki’ tidak berlaku untuk penggunaan kekuasan yang terjadi sendirian,
melainkan menggamabarkan salah satu dari banyak struktur kekuasaan sistemik
yang saling bergantung dan saling terkait di seluruh masyarakat dan
budaya. Keistemewaan dan status khusus
ini diberikan kepada laki-laki dalam masyarakat Patriarki. Ini adalah
masyarakat yang didefinisikan oleh sepremasi laki-laki, di mana laki-laki
memegang kekuasaan utama dan mendominasi peran kepemimpinan politik, otoritas
moral, hak istimewa sosial, dan kontrol properti. Dengan subordinasi terhadap
perempuan, laki-laki memperoleh keuntungan ekonomi, sosial, pendidikan, dan
praktis yang tidak tersedia bagi perempuan.
Di bidang sosiologi, hak
istimewa laki-laki terlihat tertanam dalam struktur institusi . Namun keistimewaan
tidak dimiliki secara merata oleh semua laki-laki. Mereka yang paling cocok
dengan norma maskulin ideal mendapat manfaat paling besar dari hak istimewa. “Sebab
itulah kiai-kiai banyak yang berbini empat, atau lebih. Semua orang ingin
bermenantukannya, sedang kiai belum banyak jumlahnya. Supaya yang menjemput
mendapat bagian sama rata, kiai itu dengan segala senang hati dan keiklasan
menceraikan bininya yang tertua, supaya lowong yang terjadi karena itu dapat
diisi dengan gadis yang ditawarkan tadi, yang masih segar.” Kutipan ini menunjukan laki-laki yang
ditempatkan pada posisi yang tidak setimbang dengan perempuan. Kondisi ini
menggambarkan implementasi privilese laki-laki dalam lingkup kehidupan
masyarakat. Privilese ini tentu saja
hanya menguntungkan pihak laki-laki.
2. Keyakinan
Konservatif dan Sikap Anti-Ilmiah
SKdK dan PP secara bersamaan menampilkan cerita
tentang dominasi budaya yang menyebabkan ketertutupan masyarakat. Budaya yang
amat kental dan dominatif menggiring masyarakat untuk memelihara mitos sebagai
kebenaran yang tidak dapat diganggu gugat. Akibatnya, ilmu pengetahuan tidak
mendapatkan tempat, dan dengan demikian, tidak dapat menjadi penunjuk arah
kemajuan bagi masyarakat.
Secara amat eksplisit, Rijal menggambarkan generasi Minangkabau
dengan mengatakan, “Saya tahu bahwa nenek
moyang orang Minangkabau buta huruf, dan anak cucunya bodoh, banyak sekali yang
tidak mau bersekolah, dan karena itu tidak tahu dan tidak mengerti apa yang
terjadi dan bakal terjadi di dunia dan negerinya” (SKdK, hlm. 228).
Sikap konservatif dan anti-ilmiah tampak dalam kegigihan memegang erat
tradisi kebenaran yang tidak ilmiah. Masyarakat Minangkabau sangat sulit
menerima kebenaran lain yang bersumber dari hasil penelitian ilmiah ilmu
pengetahuan. Mereka hidup berdasarkan keyakinan-keyakinan kuno yang diajarkan
sebagai kebenaran tunggal oleh nenek ,oyang dan orang-orang tua yang dihormati
di tengah masyarakat. “Kami sudah tahu
bahwa Berlin itu jauh dari Makkah, tetapi datuk kami bersikeras kepala
mengatakan kedua kota itu berdekatan. Kami sudah banyak makan garam, katanya”
(SKdK hlm. 228).
Konservatisme budaya juga tampak dalam anggapan-anggapan kuno yang
menyubordinasi perempuan. Sayangnya, kondisi perempuan sebagai warga kelas dua
diterima begitu saja oleh kaum perempuan itu sendiri. Anggapan kuno tentang
syarat menjadi anak perempuan brahmana, misalnya dilontarkan oleh Sharvajaya; “Siapa yang akan menyangka bahwa kamu anak
brahmana? Kamu sama saja kelihatannya dengan gadis dari keluarga kasta yang
rendah dan kalaupun kamu kawin, keluarga macam itu jugalah yang akan kamu
kawini. Lalu harta apa yang kamu ikat dengan saarimu itu?” (PP hlm. 90).
Dalam kenyataan,
konteks sosial masyarakat Minangkabau dan desa Nischindipur tidak
hanya dibingkai oleh kemapanan agama saja atau budaya saja. Agama dan budaya
berhubungan sangat dekat. Keduanya saling bekerja sama dalam proses penindasan
terhadap masyarakat, terutama kaum perempuan dan anak-anak. Dalam konteks SKdK dan PP, kaum agamawan dan pemangku adat sama-sama memiliki peran
dominan dalam mengondisikan pemikiran fundamentalis, penganugerahan privilese
bagi laki-laki, kampanye agama eskatologis, dan kultur konservatif yang
anti-ilmiah di tengah masyarakat.
3.
Membaca
Sastra sebagai Perjuangan Emansipatif; Analisis SKdK dan Pater Pancali
“As
soon as we renounce fiction and illusion, we lose reality itself; the moment we
subtract fictions from reality, reality itself loses its discursive-logical
consistency” (Slavoj Žižek).
a.
Relasi
Timbal Balik antara Sastra dan Realitas
Karya sastra yang dihasilkan oleh
manusia tentu saja tidak terlepas dari suatu konteks kehidupan tertentu. Karya
sastra menggambarkan secara estetis realitas hidup manusia dengan menggunakan
gaya bahasa sastrawi yang tidak tidak eksplisit. Meskipun tidak tampak seperti
karya ilmiah atau berita (straight news),
sastra adalah cerminan dari kenyataan hidup yang dialami oleh manusia di suatu
tempat pada suatu masa.
Hubungan antara sastra dan realitas
amat dekat dan bersifat timbal balik. Di satu sisi, karya sastra dilahirkan
dari pengalaman hidup masyarakat di mana penciptanya tinggal. Sementara itu, di
lain pihak, pengalaman hidup masyarakat dapat diperkaya oleh pembacaan atas
karya sastra. Dalam hal karya sastra sebagai cerminan kehidupan sosial
masyarakat, sebagaimana ditulis Okky Madasari (2019), kita bisa membandingkan
karya sastra Rusia yang lebih menonjolkan aspek perjuangan dan perlawanan
dengan sastra Prancis atau Amerika Serikat yang tampak sangat individualis,
menonjolkan kesepian hidup manusia, dan pencarian jati diri individu. Di
Indonesia, karya sastra era kolonial (para pengarang dari era Balai Pustaka dan
Pujangga Baru) berbeda dengan karya sastra Angkatan 45, apalagi dengan karya
sastra Orde Baru (era Lembaga Kebudayaan Rakyat atau Lekra).
Novel SKdK ditulis oleh Radjab pada tahun 1950 untuk mengenang kembali
konteks sosial masyarakat Minangkabau pada masa kecilnya, yaitu antara tahun
1913 dan 1928. Rijal, tokoh anak dalam novel tersebut tampil sebagai
representasi masyarakat yang merasa terusik oleh suatu konteks sistem religi
dan budaya yang amat rigid. Agama yang memberikan gambaran serba eskatologis
dan budaya yang tidak menghargai kaum perempuan membuat si kecil Rijal merasa
ada sesuatu yang tidak beres.
Dalam cara yang kurang lebih sama,
Bibhutibhushan Banerji mendeskripsikan konteks daerah pedalaman India pada awal
1900-an. Kehidupan masyarakat yang serba kekurangan atau miskin di wilayah itu
berjalan secara berdampingan dengan hiruk pikuk kehidupan beragama dan
berbudaya yang amat merugikan kelompok rentan (khususnya perempuan dan
anak-anak).
Dalam cara pandang yang
emansipatif, SKdK dan PP tentu saja tidak hanya menyediakan
secara deskriptif kisah kemiskinan, kemapanan agama dan budaya, kekerasan
gender, dan kasus kemanusiaan lainnya. Dua karya besar ini membawa kita pada
refleksi yang mendalam tentang bagaimana dunia seharusnya dibentuk atau ke mana
manusia diarahkan demi kehidupan yang lebih baik.
b.
Nilai
Emansipasi dalam Novel SKdK dan Pater Pancali
Kisah serba kekurangan dalam Semasa Kecil di Kampung dan Pater Pancali pada dasarnya mengandung
aspek emansipatif. Menurut kami, terdapat hubungan yang saling mengandaikan
antara gambaran konteks sosial budaya dalam dua novel dengan aspek emansipasi
sastra. Meskipun agama dan budaya menekan martabat manusia sedemikian rupa,
tujuan utama novel tersebut, hemat kami, adalah untuk menunjukkan bahwa masih
ada Rijal, Apu, dan Durga yang berusaha melawan sistem yang tidak adil.
SKdK
menceritakan realitas masyarakat Minangkabau yang amat rumit oleh aturan-aturan
agama dan budaya. Dalam kisah itu, terdapat seorang Rijal yang tampil sebagai
penggugat yang merasa bahwa sistem tersebut tidak mengantar manusia ke arah
kemajuan.
Perlawanan Rijal tampak secara
sangat gamblang dalam kutipan berikut;“Apakah
kami anak-anak muda tidak akan bodoh dan sengsara nanti, bila kami tuturkan
kehendak orang-orang tua yang tidak punya pengertian dalam hidup ini? Apakah jadinya
kami pemuda-pemuda jika kami turutkan petunjuk dan ajaran kiai-kiai di
pesantren, seperti pernah saya alami hampir dua tahun lamanya masa yang paling
gelap dalam hidup saya? Apalagi jadinya kami pemuda, jika kami turutkan nasihat
mamak dan datuk kami, yang antara lain tidak tahu ilmu bumi, yang mengatakan
kepada kami bahwa Berlin itu dekat Makkah, karena dalam Perang Dunia, jerman
membantu Turki? (SKdK hlm.
228).
Pernyataan yang dilontarkan oleh Rijal ini
menunjukkan adanya dimensi perlawanan dari seorang anak kecil yang kritis.
Dalam hal ini, keterbukaan pada ilmu pengetahuan dan teknologi membuat si anak
kecil merasa tidak puas dengan mitos-mitos yang diajarkan sebagai kebenaran
mutlak oleh kaum tua. Novel SKdK
secara amat mendalam memperhadapkan anak-anak dan orang tua. Kaum anak-anak,
dalam hal ini mewakili kelompok masyarakat kecil yang suaranya seringkali tidak
didengarkan atau menjadi korban penindasan oleh agama dan budaya. Sementara
itu, kaum tua adalah wakil dari kelompok masyarakat yang selalu berusaha
membodohi dan menindas orang lain dengan menggunakan kekuatan status sosialnya.
Rijal, si anak kecil, bahkan secara
berani mengatakan; “Bolehkan kita menyerahkan
hidup dan nasib kita kepada orang-orang yang dalam kegelapan begitu?” (SKdK hlm. 228). Ilmu pengetahuan, dengan demikian, sangat menentukan nasib
manusia. Jika masyarakat bersikap tertutup terhadap ilmu pengetahuan, nasibnya
tidak akan berubah menuju kemajuan. Sebaliknya, jika ilmu pengetahuan diterima
sebagai kekayaan, kehidupan masyarakat akan berkembang menuju kesejahteraan.
Di samping itu, Pater Pancali memberikan kepada kita
gambaran tentang betapa kerasnya kehidupan masyarakat kampung di India pada
masa itu. Meskipun demikian, sebagai karya sastra, novel itu menyuarakan
kerinduan masyarakat akan kehidupan yang baik dan sejahtera, bebas dari
kemsikinan dan tetek bengek agama serta budaya yang menindas.
Banerji menulis; “Sialnya banyak sekali orang di
dunia ini yang begitu tidak perasa, sehingga mereka tidak mengerti kecintaan
anak-anak terhadap buah ranti ‘nona toko’, demikianlah Durga menamakannya” (PP hlm. 90). Kalimat ini menunjukkan
ketidakpuasan terhadap sikap orang tua yang senantiasa mendikte dan mengontrol
setiap inci tingkah laku dari anak-anaknya. Sikap orang tua seperti itu tidak
dibaca sebagai usaha untuk membuat anak-anak patuh tetapi memenjarakan anak
dari partisipasi dalam kehidupan nyata yang bebas. Sejak dini, seorang anak
manusia dipaksa untuk menjadi penurut belaka berkembang tanpa pertimbangan
kasih sayang orang tua.
Dimensi emansipatif dalam PP juga tampak dalam sikap Durga dan Apu
yang menolak diperlakukan secara berbeda dengan kaum dari kasta yang lebih
rendah. Durga dan Apu tidak peduli dengan aturan tentang penggunaan gelas air
minum. “Minum saja dari gelas itu. Tak
apa-apa buatku”, kata Apu kepada Bini, seorang anak brahmana yang berasal
dari golongan rendah dan tidak memiliki pamor sosial. Sikap dua orang anak
kecil, Durga dan Apu, adalah bentuk perlawanan terhadap diskriminasi sosial
yang dikondisikan oleh agama dan budaya. Dengan melakukan tindakan tersebut,
dua orang anak kecil ini menunjukkan bahwa aturan agama dan budaya tidak serta
merta harus ditaati jika tidak mengandung nilai kemanusiaan.
4.
Penutup
Dominasi agama dan budaya membentuk masyarakat
Timur yang sangat religius dan berbudaya. Dalam banyak hal, novel SKdK dan PP menceritakan kepada kita bahwa masyarakat Minangkabau dan Nischindipur,
Bengali, hidup dalam berbagai macam mitos buatan agama dan budaya. Mitos-mitos
tersebut tidak hanya menjadi cerita, tetapi juga membentuk sikap masyarakat
terhadap segala sesuatu. Sikap tersebut, sayangnya, berhubungan dengan hak
asasi dan martabat manusia. Dalam hal ini, budaya dan agama membingkai sikap
masyarakat yang tidak menghargai martabat manusia yang berasal dari golongan
(kasta) atau gender yang lain (perempuan).
Meskipun demikian, sebagai karya
sastra yang memiliki dimensi emansipatif, kedua novel ini mengandung upaya
untuk keluar dari konteks masyarakat kuno menuju masyarakat yang terbuka,
demokratis, dan menghargai martabat manusia. Durga dan Apu, dua orang anak
kecil dalam PP, menjadi wakil dari
usaha-usaha untuk melawan penindasan yang dibuat oleh agama dan budaya di
pedalaman India. Dalam cara yang bersamaan, Rijal, anak kecil dalam SKdK, berusaha untuk melawan mitos agama
dan budaya yang menindas, terutama kaum perempuan dan anak-anak. Dengan melawan
mitos, Rijal mengajak kita untuk menerima perubahan yang dibawa oleh ilmu
pengetahuan agar kehidupan masyarakat bergerak menuju kemajuan dan
kesejahteraan bersama.
Daftar
Pustaka
Hardiman, F. Budi.
"Konsep Habermas Tentang Masyarakat Postsekuler Serta Diskursus Tentang
Relasi Agama Dan Negara Di Indonesia" dalam Jurnal Ledalero, Vol. 10, No. 1, Juni 2011.
https://dictionary.cambridge.org/dictionary/english/eschatology
https://www.collinsdictionary.com/dictionary/english/fundamentalism
https://www.merriam-webster.com/dictionary/eschatology
Huntington, Samuel P.
1996. The Clash of Civilization and the
Remaking of World Order. New York. SIMON & SCHUSTER.
Madasari,
Okky. 2019. Genealogi Sastra Indonesia;
Kapitalisme, Islam, dan Sastra Perlawanan. Publikasi daring.
Malaka, Tan. 2010. Madilog. Yogyakarta: Narasi.
Selamat, Kristo Depatri. "Perempuan Dalam
Negara Demokrasi Moderen (Sebuah Tinjauan Dari Perspektif Dalam Tanggung Jawab
Untuk Yang Lain)" dalam BIDUK,
Ed. I. XLXII. Juli - Desember 2012.
Susabun, Anno. "Tantangan Fundamentalisme Agama
Dalam Negara Demokrasi" dalam Biduk,
Ed. II. LXXIII. Januari - Juni 2018.
Udu, Yohanes Damaiko. "Turbulensi Islam-Barat:
Tantangan Perenial Bagi Peradaban Global?" dalam Akademika, Vol. XL. No. 2, Januari - Juni 2017.