- By
- 29 Sep 2021
- 1312
LIKU-LIKU PERJALANAN MENUJU PENCERAHAN (Pergulatan Intelektualitas Manusia versus Budaya dalam Novel Pater Pancali dan Semasa Kecil di Kampung)
Oleh: Patrik Reamur, Jessica Mbiru, dan Grace Min
‘’Omong kosong bahwa kita mesti mengunjungi seluruh
dunia ini agar dapat merasakan kegembiraan akan
sesuatu yang tidak bisa kita ketahui; Untuk mata kita semua, itu merupakan negeri yang belum
ditemukan, dan hari itu untuk pertama kalinya kita merasakan kebaruannya di
dalam hati, di dalam pikiran, dan dengan segala perasaan (PP, hal.164).”
1. Sastra,
Bahasa, dan Budaya
Sastra adalah seni bahasa yang dirangkai
dan dapat menghasilkan suatu karya. Sastra biasa digunakan untuk pengungkapan
ide, pengalaman, serta perasaan. Penulisan karya sastra bisa menjadi perantara
antara pembaca dan penulis. Semi (1988:2) berpendapat bahwa sastra merupakan suatu
bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan
kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai medium. Oleh karena itu, sastra
selalu berkaitan dengan manusia dan penggunaan bahasa dalam sastra juga
berperan penting sebagai perantara penulis dan pembaca.
Bahasa dalam sastra bisa digunakan sebagai
penunjuk budaya dari masyarakat. Bahasa dan sastra selalu berkaitan dan tidak
dapat dipisahkan. Dalam menghasilkan karya sastra, penulis menggunakan bahasa
sebagai medium penyaluran pesan kepada pembaca. Rahardi dalam buku Arifian
(2019:187) berpendapat bahwa “Bahasa sebagai medium pemanifestasian kebudayaan.” Pernyataan tersebut
menegaskan, bahasa dalam sastra juga bisa dimanfaatkan sebagai medium
kebudayaan kepada masyarakat luas.
Salah satu unsur kebudayaan adalah
bahasa. Selain sebagai alat komunikasi, bahasa juga menunjukkan intelektualitas
dari budaya yang bersangkutan. Arifian (2019:185) menegaskan bahwa “bahasa
sejatinya bukan hanya soal linguistik, melainkan juga kultural dari masyarakat penuturnya.”
Penggunaan bahasa merupakan ekspresi tertinggi dari kualitas intelektual sebuah
masyarakat karena menjadi penentu cara berpikir. Hal ini didukung dari
pernyataan Arifian (2019:185), “Bahasa berpengaruh terhadap kebudayaan yang
mewadahinya karena bahasa menjadi penentu cara berpikir.” Hal ini bisa
ditunjukkan dalam hasil karya sastra masyarakatnya.
Konsep kebudayaan mulai muncul di akhir
abad kedelapan belas dan terus berlanjut hingga akhir abad kesembilan belas.
Sebagian besar sebagai reaksi atas masifnya berbagai perubahan yang terjadi
pada struktur dan kualitas kehidupan sosial (Chris Jenks, 1993:2). Menurut Koentjaraningrat
(2004: 9) kebudayaan adalah “keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus
dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya
itu”. Berdasarkan
definisi tersebut dapat dijelaskan budaya adalah kebiasaan masyarakat yang
berkembang dalam lingkungannya dan diteruskan dari generasi ke generasi.
Kebudayaan dapat mewarisi perilaku, cara berpikir dan hasil karya masyarakat.
Salah satu hasil karya sastra yang kita
kenal adalah novel. Novel bisa berisi cerita fiksi, non-fiksi, bahkan realitas kehidupan
manusia. Novel memiliki berbagai macam genre, seperti percintaan, aksi, komedi, horor, dan sebagainya.
Dengan genre yang bermacam-macam novel sangat digemari apalagi oleh para
pencinta sastra. Ternyata, selain menyediakan berbagai macam cerita yang sering
membuat kita kecanduan, novel juga berisi realitas kehidupan manusia dalam
segala dimensinya. Novel mempunyai fungsi dulce et utile yang artinya menyenangkan
dan bermanfaat bagi pembaca melalui penggambaran kehidupan nyata (Tube, 2018:
1). Novel diciptakan berdasarkan imajinasi pembaca yang merupakan hasil
representatif dari realitas
kehidupan masyarakat. Dalam rangkaian
peristiwa mengandung makna dan pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang.
Selain itu,
Scholes dalam buku Umar Junus (1984:121), berpendapat bahwa novel adalah cerita
yang dibuat berdasarkan pengamatan penulis terhadap kenyataan. Kenyataan
tersebut tidak diterima begitu saja namun melaluinya, penulis menganalisis dan
mengkritik kehidupan sosial budaya pada zamannya. Persis di sinilah pergulatan
intelektualitas penulis dalam kaitan dengan kondisi sosial budaya masyarakat di
mana ia tinggal. Ibarat sebuah perjalanan yang
berliku-liku, tidak selalu mulus begitu pula pergulatan penulis berhadapan
dengan budaya di mana ia tinggal.
Novel Pater Pancali, yang selanjutnya disingkat (PP) dan Semasa Kecil di
kampung, yang selanjutnya
disingkat (SKdK) adalah
novel yang menceritakan kehidupan di India dan Minangkabau. Novel Pater
Pancali, ditulis oleh Bithutibhushan
Banerji pada 1929. Novel ini mengisahkankan kehidupan dua orang anak bernama Durga dan adiknya
Apu yang tinggal di suatu keluarga berkasta brahmana namun dengan kondisi
ekonomi yang rendah. Pergulatan intelektualitas pada novel ini tampak pada diri tokoh Apu yang selalu bertanya kenapa dan bagaimana
sesuatu terjadi dan pengaruh dari keluarga ibunya yang lebih mementingkan
perjodohan dari anak-anaknya ketimbang Pendidikan.
Sedangkan di novel Semasa Kecil di
kampung berisi peristiwa suka dan duka masa kecil Radjab di Minangkabau. Buku yang ditulis oleh
Muhammad Radjab ini diterbitkan pada tahun 1950. Buku ini menguak kisah tentang takhayul, mitos-mitos, tragedi, perayaan, dan perdebatan dalam tradisi di Minangkabau. Pergulatan
terjadi ketika Radjab mencoba memeluk modernisasi tetapi di pihak lain mencoba keluar dari bayang-bayang takhayul dan mitos-mitos dalam tradisi perayaan Minangkabau. Modernisasi
mulai diketahui Radjab setelah terjadinya perang padri yang awalnya disebabkan
oleh perbedaan prinsip antara kaum Padri dan kaum Adat. Hingga akhirnya Radjab
menulis novel ini untuk menuangkan pikirannya tetapi dalam bentuk cerita.
2. Pergulatan
Intelektualitas dalam novel Pater Pancali dan Semasa Kecil di Kampung
Sekilas
kita mungkin berpikir bahwa dua novel ini hanya menceritakan kisah sehari-hari.
Akan tetapi, kedua novel ini juga berisi sesuatu yang lebih dari sekedar cerita
sehari-hari yakni keduanya memberikan kritikan secara tak langsung akan
beberapa hal. Berikut beberapa kritikan dalam novel Semasa Kecil di Kampung dan Pater Pancali.
2.1 Apatisme
terhadap Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu hal yang
penting dalam kehidupan manusia. Melalui pendidikan, wawasan kita semakin luas
dan kita dapat melihat dunia luar yang mungkin belum sempat kita jangkau serta
pemikiran yang mulai bertransformasi. Namun, beberapa kepercayaan di kalangan
masyarakat telah menutup pendidikan kepada generasi masa depan. Pandangan ini
pun menjadi stigma di kalangan masyarakat dalam novel Semasa Kecil di
Kampung yang diekspresikan dalam kalimat berikut: “Kini generasi muda mereka cegah belajar,
sewaktu pintu sekolah terbuka selebar-lebarnya.”
(SKdK, hal 18). Melalui kutipan ini, kita dapat melihat jembatan yang
menghubungkan anak-anak dengan pengetahuan baru telah diputuskan oleh
kepercayaan generasi tua.
Muhammad Radjab menuliskan pada halaman
yang sama, “Demikianlah beribu-ribu anak yang sebaya dengan saya di
Minangkabau pada masa itu digelapkan dan dirusakkan masa depannya oleh orang
tuanya yang kurang pengetahuan, yang memberikan persiapan keliru untuk
keberuntungan anaknya di belakang hari.” Terlihat Muhammad Radjab
menyayangkan kehidupan anak-anak pada masa itu yang dipatahkan jalannya menuju
pendidikan karena takhayul dan mitos-mitos yang turun dari nenek moyang dan
terus dipertahankan orang tuanya.
Dalam cerita Pater Pancali, tokoh
Durga yang merupakan seorang anak perempuan yang tidak pernah disekolahkan
sampai akhir hidupnya. Kedua orang tuanya hanya fokus menyekolahkan adik
laki-lakinya. Mereka selalu berusaha menikahkan Durga secepat mungkin untuk
membantu kondisi ekonomi keluarga mereka. Ibu Durga berpikir jika ia dan
suaminya segera mengawinkan Durga dengan anak orang kaya, maka harapan-harapan
bahwa keadaan mereka akan menjadi baik dapat terwujudkan (PP, hal 301). Cara
pandang seperti itu memang bisa saja terjadi, bahkan budaya patriarki yang
menimbulkan masalah diskriminasi terhadap perempuan sering terjadi, bukan hanya
di India. Realitas seperti ini pun ditemukan di Manggarai, yakni perendahan
martabat perempuan, yang diistilahkan dengan ungkapan “ wai weta papi, tendang nara leca”, yang bermakna menikahkan anak
perempuan diyakini dapat menopang perekonomian keluarga, sebab mas kawin dalam
pernikahan dapat memperkaya saudara yang merupakan penerus dan penopang
keluarga (Janggur, 2010:118). Perempuan dianggap sebagai aset yang dapat
digunakan pada waktu yang tepat. Menyekolahkan perempuan dianggap sebagai
sesuatu yang merugikan karena ujung-ujungnya akan menjadi bagian dari keluarga
laki-laki dan mengelolah kehidupan keluarga bagian dapur.
Pandangan budaya ini semakin didukung dengan
SDM rendah yang dimiliki perempuan akibat rendahnya pemahaman yang tidak
ditopang oleh pendidikan yang baik yang mengarah pada pembentukan perempuan
yang berkarakter. Menurut Martin Luter King dalam Tapung (2013: 18) urgensitas pendidikan adalah
mengajarkan seseorang untuk berpikir kritis dan intensif. Kecerdasan dan
karakter, itulah tujuan pendidikan sesungguhnya. Berdasarkan pandangan tersebut
pendidikan tidak hanya bertujuan pada ranah kognitif atau psikomotorik, namun
kembali pada proses penyadaran akan kodratnya sebagai manusia. Hal ini pun
searah dengan pandangan pendidikan sebagai proses memanusiakan manusia. Sejalan
dengan pandangan tersebut, dapat
disimpulkan bahwa arah pendidikan
untuk dua hal, pertama, upaya ‘hominisasi’, yaitu
pembentukan seseorang menjadi pribadi yang memahaminya dirinya, serta tahu dan
sadar menempatkan dirinya dalam segala sesuatu. Kedua, ‘humanisasi, yaitu
upaya untuk mengembangkan pribadinya menjadi manusia yang sempurna dan
manusiawi, sehingga seseorang dapat lebih memahami kodratnya sebagai manusia
yang didukung dengan hak-hak yang melekat untuk mempertahankan eksistensinya.
Pandangan ini tentunya akan mambantu pembentukan pola berpikir perempuan dalam
membentuk kesetaraan, karena kodrat yang melekat dalam dirinya sama dengan
laki-laki, yakni sebagai “manusia”.
Tampak bahwa kedua penulis novel ini
mencoba membenturkan nilai-nilai modernitas dengan tradisi kebudayaan setempat.
Di satu sisi keduanya tetap berusaha menghormati nilai-nilai budaya masyarakatnya
sambil tetap kritis akan pembodohan oleh sistem kebudayaan itu sendiri. Di sisi
lain, keduanya berusaha merangkul nilai-nilai modernitas dan menggunakannya
untuk mengubah sikap apatisme terhadap pendidikan. Menurut
mereka, pendidikan adalah proses memanusiakan manusia sebagai subjek. Pengaruh
pemikiran modern di sini lebih kepada penekanan pada otonomi manusia sebagai
subjek. Seperti kata Tapung (2013:20) “Pendidikan berlangsung di antara pribadi-pribadi sebagai subjek”.
Dalam hal ini pendidikan menjadi proses perubahan pola pikir dan pengembangan
yang mendasar pada sisi kehidupan.
Pendidikan tidak
hanya sekedar belajar membaca dan menulis tetapi juga dapat mengubah pola pikir
agar dapat berguna tidak hanya pada masa itu tetapi juga untuk masa depan.
Kepercayaan serta pola pikir kuno orang tua pada masa itu telah merusak
kesempatan besar bagi anak-anak mereka. Pergulatan antara budaya dan pendidikan
inilah yang dituangkan Banerji dan Muhammad Radjab dalam novel mereka.
2.2 Potret Kritik Sosial dan Budaya
dalam Novel Pater Pancali dan Semasa Kecil di Kampung
Karya sastra adalah hasil pergumulan
penulis terhadap realitas kehidupan pada zamannya. Karya sastra akan tumbuh dan didasarkan pada
bagaimana penulis dapat memaknai realitas yang disalurkan melalui permainan
bahasa. Pada satu pihak sebagai apresiasi terhadap kenyataan-kenyataan yang
seirama dengan cara pandang dan pola pikir penulis. Pada pihak lain sebagai
bentuk penolakan dan kritikan terhadap realita sosial yang dibentuk oleh
kebudayaan yang dianut, yang tidak mampu disuarakan secara frontal. Oleh sebab
itu, tidak heran jika dikatakan karya sastra merupakan media pengaduan yang
tepat untuk setiap pergumulan yang terjadi.
Novel Pater Pancali dan Semasa
Kecil di Kampung menjadi bagian dari sejarah pergumulan yang dialami
penulis. Setiap bagian dikisahkan untuk menyuarakan pemberontakan hingga
penolakan terhadap
realitas yang terjadi melalui permainan diksi
dalam kajian sastra. Penulis seolah berusaha mengubah cara pandang, namun pada
akhirnya harus kembali dikalahkan dengan kuatnya eksistensi budaya yang
berdampak pada kehidupan sosial. Pada akhirnya, coretan-coretan kertas menjadi
pemenang untuk menyuarakannya. Berikut bentuk kritik sosial dan budaya dalam
novel Pater Pancali dan Semasa Kecil di Kampung.
2.2.1 Diskriminasi terhadap
Perempuan
Novel Pater Pancali dan Semasa Kecil
di Kampung mengangkat nilai moral yang memiliki peralihan mendasar bagi
perempuan untuk dikekang dan tunduk pada tradisi setempat. Di satu bagian dalam
novel Pater Pancali, persoalan perkawinan menjadi sorotan. Diceritakan
suami Indir Thakrun yang mempunyai banyak istri mengunjunginya dan tinggal
tidak lebih dari semalam atau dua malam lalu pergi menikahi gadis dari desa
lain setelah mengumpulkan semua uang Indir yang menurut adat memang menjadi
miliknya. “Pada beberapa kesempatan ia memang datang, di situ ia tinggal
tidak lebih dari semalam-dua malam, dan sesudah mengumpulkan semua uang yang
menurut adat memang menjadi miliknya, dicoretlah olehnya desa itu dari
daftarnya dan pergilah ia dengan kulinya ke desa berikutnya, dan di sana ia
kawin pula.” (PP, hal 6). Hal ini tentu sangat tidak adil bagi Indir.
Walaupun semua uangnya diambil dan suaminya jarang menemuinya bahkan pada
akhirnya menceraikannya. Akibatnya, ia menjadi seorang janda dan harus
menjalankan puasa. Di lain pihak mantan suaminya menikmati hasil keringat Indir
dan pernikahan barunya. Apakah yang
harus dilakukan Indir? Ya, pada akhirnya ia tidak bisa berbuat apa-apa karena
adat sudah mengaturnya seperti itu. Suaranya tidak akan didengarkan dan
gejolaknya untuk menuntut keadilan justru dianggap sebagai penyimpangan. Kebiasaan
ini menjadi pemenuhan adat yang wajib dilaksanakan. Kembali, kekuatan budaya
mengalahkan keadilan dan kesetaraan terhadap perempuan.
Sekilas juga terdapat dalam novel Semasa
Kecil di Kampung. Dalam novel tersebut ada seorang syekh yang berbini lebih
dari empat. Menurut syariat Islam hal itu tidak diperbolehkan oleh karena itu
syekh ini menceraikan istri yang lain agar tidak lebih dari empat. “Tetapi
sayang bagi perempuan yang diceraikan: jarang orang lain mengawini janda itu,
takut ketularan. Banyak benar janda syekh yang tidak kawin lagi.” (SKdK,
hal.118). Pada dasarnya hal ini menandakan ketidakadilan bagi perempuan karena
laki-laki memiliki hak lebih dalam perkawinan. Ini disebabkan karena kebiasaan
yang terus menerus dilakukan walaupun
ketidakadilan tampak jelas di depan mata. Meskipun begitu, perempuan pada saat
itu tidak berani bertindak, mereka lebih memilih untuk mematuhi aturan kebudayaan
yang ada. Selain karena suara mereka yang tidak didengar, mereka juga tidak
punya keberanian untuk memperjuangkan kebebasan mereka.
Pada bagian lain yang menjadi
sorotan, masih dalam potret diskriminasi terhadap kaum perempuan, terjadi tindakan
kekerasan terhadap perempuan. Hal ini digambarkan dalam sebuah kutipan “Ia
mengangkat tangan ke atas kepala untuk menangkis pukulan dan merendahkan
tubuhnya, menempel ke dinding. Ia ketakutan.” (PP, hal 144). Kutipan
ini menggambarkan tindakan bela diri seorang istri terhadap tindakan kekerasan
yang dilakukan suaminya karena tidak melakukan tugasnya dengan baik. Namun,
pertanyaan lebih tepatnya adalah, pelaksanaan tugas tidak baik dari sudut
pandang siapa? Pada kenyataannya, perempuan dipaksa mendominasi pekerjaan rumah
tangga dan menjadi pengasuh
anak. Semua kesalahan dan kekurangan dalam situasi rumah dianggap sebagai
kesalahan perempuan semata, sementara di lain pihak jika disoroti dari
kodratnya sebagai sesama manusia tidak ada pemetaan khusus yang membagi hal
itu. Hal ini berarti perempuan dan laki-laki dapat melakukan hal yang sama
tanpa dibedakan dari segi gender. Selain itu, pemaknaan perkawinan sebagai
penyempurnaan akan keutuhan kehidupan dengan saling melengkapi hanya menjadi
slogan, ketika yang terjadi adalah kesempurnaan itu hanya dimiliki oleh salah
satu pihak. Proses tindakan sosial sudah lari jauh dari yang sewajarnya. Secara
garis besar manusia sebagai makhluk sosial yang memahami bentuk dan tindakan
sosial. Perlukah aksi kekerasan dalam nilai kehidupan sosial jika penghayatan
nilai sosial masih disepelekan?
2.2.2 Demitologisasi
Kedua novel ini menyajikan catatan sejarah
terhadap peradaban. Kehidupan diwarnai dengan kultur yang seolah menjadi nafas
dan tuntunan yang menghidupi masyarakat. Kesadaran yang mempertahankan segala
bentuk tindakan melahirkan dasar yang kuat dalam pertahanan namun tidak seperti
biasanya karena hal ini bergantung pada komitmen akan kultur dari masing-masing
individu. Kehidupan masyarakat yang digambarkan pada kedua novel tidak terlepas
dari yang namanya mitos. Masyarakat yang percaya terhadap mitos dan takhayul
menjerumuskan mereka dalam tindakan yang mengunci kebebasan mereka sendiri.
Bentuk ancaman itu sendiri dirasakan bahkan dialami.
Temuan-temuan berupa ungkapan yang menjadi potret
berkembangnya mitos merasuki setiap ruang gerak masyarakat. Bahkan, peristiwa
alam yang dapat dijelaskan dengan temuan-temuan pendidikan dipandang dari sisi
mitos, misalnya “Orang tua-tua mengatakan bahwa
asal gempa itu ialah telinga lembu, yang memikul bumi ini, sedang digigit
nyamuk. Kami yang bersekolah tidak percaya lagi bahwa bumi datar dan di
bawahnya seekor lembu besar memikulnya.”
(SKdK, hal 140). Kutipan ini dapat menjadi bukti bahwa, takhayul yang
dipercayai masyarakat pada saat itu membuat mereka tidak bisa keluar dari
kekhawatiran yang sebenarnya tidak perlu dipikirkan lagi. Kekhawatiran ini
menyengsarakan diri sendiri hingga akhirnya menjerumuskan diri dalam kepanikan.
Muhammad Radjab juga menyinggung tentang pemikiran
kuno masyarakat pada saat itu. Mereka percaya bahwa gempa yang terjadi ini
disebabkan oleh beberapa takhayul. “Tetapi
orang yang percaya takhayul masih khawatir, karena gempa ini, katanya, pelopor
kekacauan dan keributan yang bakal terjadi.” (SKdK, hal 143). Proses demitologisasi di sini tampak pada mereka yang bersekolah
tidak percaya lagi dengan mitos-mitos para orang tua mengenai bumi datar karena
pengetahuan mereka tentang bumi dan segala isinya telah diperkaya melalui
pendidikan. Namun, pada akhirnya hanya dapat mengubah paradigma
berpikirnya sendiri, karena kekuatan kebudayaan yang masih mendominasi
kepercayaan terhadap mitos dan takhayul.
Sementara itu, dalam novel Pater Pancali terdapat kisah
tentang kutukan yang dalam keluarga Brahmana Ray akibat perbuatan nenek moyang
mereka. Ibu Harihar Ray ingin kutukan tersebut tidak terjadi pada anaknya
hingga akhirnya seorang suci memberikannya sebuah jimat untuk menghapus kutukan
itu. “Apakah karena kekuatan jimat atau karena kutukan Tuhan, telah
kehilangan kekuatannya seperti kapur barus yang menguap, sesudah dua Angkatan,
Harihar Ray tetap hidup….” (PP, hal. 18). Dari kutipan ini, kita dapat
melihat pergulatan yang terjadi dalam diri Banerji bahwa ia tidak percaya
sepenuhnya terhadap jimat itu dengan berpikir bahwa hilangnya kutukan itu juga
merupakan hasil dari campur tangan Tuhan atau bahkan apakah kutukan itu memang
ada.
Kepercayaan terhadap takhayul dan
mitos-mitos yang menyebar di masyarakat mencegah mereka untuk berpikir terbuka
dan bebas tanpa rasa khawatir ataupun takut. Masyarakat terjebak dalam
pemikiran kuno yang selalu berkata ‘jangan ini’ atau ‘jangan itu’ hingga
akhirnya tindakan serta pemikiran mereka pun terkekang dalam alasan yang tidak
masuk akal.
3. Catatan
Kritis terhadap Potret Pergulatan Intelektual versus Budaya
Manusia adalah agen kebudayaan sekaligus
penentu eksistensi kebudayaan itu sendiri. Manusia bertumbuh dan berkembang
dalam kebudayaan sekaligus turut membentuk dan membaharuinya dari dalam. Oleh karena itu, manusia sama sekali tidak
dipenjara oleh kebudayaannya. Sebaliknya, karena perkembangan
intelektualitasnya manusia turut andil mentransformasi kebudayaan itu sendiri
pada levelnya yang tertinggi. Pengaruh pemikiran di era modern hendaklah dilihat secara positif
sebagai pisau analisis untuk menilai norma-norma budaya dalam masyarakat secara
kritis. Pada akhirnya kita tetap yakin bahwa kebudayaan adalah identitas asal
yang telah menjadi bagian sejarah kehidupan seseorang yang tidak dapat
ditinggalkan begitu saja (Abdullah, 2006:43). Manusia tidak perlu mengikari
kebudayaannya demi merangkul pengaruh perkembangan dunia di era modern sekarang ini meskipun dalam taraf tertentu memang harus bertransformasi
agar menjamin nilai-nilai kemanusian tetap ditegakkan.
Meskipun demikian, tetap diakui bahwa
pergumulan intelektualitas manusia justru terletak pada upaya untuk tetap
mempertahankan norma-norma kebudayaan masyarakatnya sambil tetap merangkul
nilai-nilai yang di bawah oleh pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan di era modern
ini. Merangkul nilai-nilai ini juga berarti mampu menyikapi konsekuensi gesekan
yang terjadi akibat benturan-benturan yang terjadi antara pola pemikiran yang
baru dengan pola pemikiran yang lama.
Perlu diakui pula bahwa memang ada pola
pemikiran lama dalam kebudayaan kita yang coba mengekang kebebasan intelektual bahkan
kehidupan sosial kita. Dengan adanya pengaruh perkembangan di era modern, beberapa budaya yang mengekang itu mulai
bertransformasi. Era modern ini memberikan persediaan ilmu yang semakin meluas
bagi manusia, sehingga pemikiran manusia tentang dunia mulai terbuka. Seperti
halnya penulis novel Pater Pancali dan Semasa Kecil di Kampung yang mulai
menyadari bahwa terdapat beberapa budaya serta kehidupan sosial yang seharusnya
tidak seperti itu namun tidak bisa mereka kritik secara blak-blakan hingga
akhirnya dituangkan dalam karya sastra.
Namun,
bisakah kita mengatakan bahwa budaya yang mengekang itu salah? Entah mengekang
atau tidak hal itu sudah menjadi bagian dari budaya oleh karena itu bagi
beberapa orang susah untuk dilepas. Dari sinilah perasaan yang bercampur aduk
(dilema) membengkak. Di satu sisi, budaya dapat mengatur tindakan kita dalam
kehidupan bersosialisasi agar tidak melenceng dari norma-norma yang berlaku
tetapi di sisi lain, budaya mengekang kebebasan beberapa individu dalam
berpikir dan bertindak sehingga mereka terjebak dalam beberapa budaya yang
mengekang. Begitu juga modernisasi yang dapat membuka pemikiran kita tapi di
sisi lain modernisasi tetap tidak bisa menghapusnya. Kita tidak bisa
menyalahkan budaya serta kehidupan sosial yang ada tetapi kita juga bisa
merasakan bahwa perubahan ini ada benarnya. Selain itu, kita pun harus
menyadari bahwa pada kenyataannya, salah satu matra dasar pendidikan adalah
budaya, sebab pendidikan bertujuan supaya seseorang dapat mengelolah diri dan
dunianya untuk disumbangkan bagi peradaban manusia secara mondial. Jadi,
aktivitas pendidikan senantiasa berusaha agar manusia dalam dirinya
terintegrasi secara mendalam nilai-nilai budaya.
Budaya dapat menjadi manusia semakin beradab dan bermartabat secara nyata dan konkret (Tapung, 2010:21). Pada akhirnya, kita akan terus berada pada liku-liku perjalanan menuju pencerahan dan menyuarakan ‘’Omong kosong bahwa kita mesti mengunjungi seluruh dunia ini agar dapat merasakan kegembiraan akan sesuatu yang tidak bisa kita ketahui (PP, hal. 164)’’. Sebab, pada kenyataannya kita akan terus kembali pada tempat di mana kita dibentuk dan mendalami pendidikan yang sebenarnya dengan memulainya melalui merefleksikan yang terjadi di sekitar kita, salah satunya kebudayaan yang menjadi tolak ukur dalam pemaknaan kehidupan. Sehingga, pendidikan sebagai awal modernisasi kita dapat menyuarakan‘’ Untuk mata kita semua, itu merupakan negeri yang belum ditemukan, dan hari itu untuk pertama kalinya kita merasakan kebaruannya di dalam hati, di dalam pikiran, dan dengan segala perasaan (PP, hal.164).
Daftar
Rujukan
Abdullah, Irwan. (2006). Konstruksi dan
Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Arifian, Florianus D. (2019). Menalar
Problem Pendidikan dan Bahasa. Yogyakarta : PT Kanisius.
Banerji. Bithubtibhushan. (2016). Pater Pancali. Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia.
Janggur, Petrus. (2010). Butir-Butir
Adat Manggarai. Ruteng: Yayasan Siri Bongkok.
Jenks. Chris. (1993). Culture Studi
Kebudayaan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.
Koentjaraningrat, (2004). Kebudayaan,
Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Radjab. Muhamad. (2019). Semasa Kecil di Kampung.
Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Semi. Atur. 91988). Anatomi
Sastra. Padang
: Angkasa Raya.