LIKU-LIKU PERJALANAN MENUJU PENCERAHAN (Pergulatan Intelektualitas Manusia versus Budaya dalam Novel Pater Pancali dan Semasa Kecil di Kampung)

Oleh: Patrik Reamur, Jessica Mbiru, dan Grace Min

‘’Omong kosong bahwa kita mesti mengunjungi seluruh dunia ini agar dapat merasakan kegembiraan akan sesuatu yang tidak bisa kita ketahui; Untuk mata kita semua, itu merupakan negeri yang belum ditemukan, dan hari itu untuk pertama kalinya kita merasakan kebaruannya di dalam hati, di dalam pikiran, dan dengan segala perasaan (PP, hal.164).

1. Sastra, Bahasa, dan Budaya

Sastra adalah seni bahasa yang dirangkai dan dapat menghasilkan suatu karya. Sastra biasa digunakan untuk pengungkapan ide, pengalaman, serta perasaan. Penulisan karya sastra bisa menjadi perantara antara pembaca dan penulis. Semi (1988:2) berpendapat bahwa sastra merupakan suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai medium. Oleh karena itu, sastra selalu berkaitan dengan manusia dan penggunaan bahasa dalam sastra juga berperan penting sebagai perantara penulis dan pembaca.

Bahasa dalam sastra bisa digunakan sebagai penunjuk budaya dari masyarakat. Bahasa dan sastra selalu berkaitan dan tidak dapat dipisahkan. Dalam menghasilkan karya sastra, penulis menggunakan bahasa sebagai medium penyaluran pesan kepada pembaca. Rahardi dalam buku Arifian (2019:187) berpendapat bahwa “Bahasa sebagai medium pemanifestasian kebudayaan.” Pernyataan tersebut menegaskan, bahasa dalam sastra juga bisa dimanfaatkan sebagai medium kebudayaan kepada masyarakat luas. 

Salah satu unsur kebudayaan adalah bahasa. Selain sebagai alat komunikasi, bahasa juga menunjukkan intelektualitas dari budaya yang bersangkutan. Arifian (2019:185) menegaskan bahwa “bahasa sejatinya bukan hanya soal linguistik, melainkan juga kultural dari masyarakat penuturnya.” Penggunaan bahasa merupakan ekspresi tertinggi dari kualitas intelektual sebuah masyarakat karena menjadi penentu cara berpikir. Hal ini didukung dari pernyataan Arifian (2019:185), “Bahasa berpengaruh terhadap kebudayaan yang mewadahinya karena bahasa menjadi penentu cara berpikir.” Hal ini bisa ditunjukkan dalam hasil karya sastra masyarakatnya.

Konsep kebudayaan mulai muncul di akhir abad kedelapan belas dan terus berlanjut hingga akhir abad kesembilan belas. Sebagian besar sebagai reaksi atas masifnya berbagai perubahan yang terjadi pada struktur dan kualitas kehidupan sosial (Chris Jenks, 1993:2). Menurut Koentjaraningrat (2004: 9) kebudayaan adalah “keseluruhan gagasan dan karya manusia, yang harus dibiasakannya dengan belajar, beserta keseluruhan dari hasil budi dan karyanya itu”. Berdasarkan definisi tersebut dapat dijelaskan budaya adalah kebiasaan masyarakat yang berkembang dalam lingkungannya dan diteruskan dari generasi ke generasi. Kebudayaan dapat mewarisi perilaku, cara berpikir dan hasil karya masyarakat.

Salah satu hasil karya sastra yang kita kenal adalah novel. Novel bisa berisi cerita fiksi, non-fiksi, bahkan realitas kehidupan manusia. Novel memiliki berbagai macam genre, seperti percintaan, aksi, komedi, horor, dan sebagainya. Dengan genre yang bermacam-macam novel sangat digemari apalagi oleh para pencinta sastra. Ternyata, selain menyediakan berbagai macam cerita yang sering membuat kita kecanduan, novel juga berisi realitas kehidupan manusia dalam segala dimensinya. Novel mempunyai fungsi dulce et utile yang artinya menyenangkan dan bermanfaat bagi pembaca melalui penggambaran kehidupan nyata (Tube, 2018: 1). Novel diciptakan berdasarkan imajinasi pembaca yang merupakan hasil representatif dari realitas kehidupan masyarakat. Dalam rangkaian peristiwa mengandung makna dan pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang. Selain itu, Scholes dalam buku Umar Junus (1984:121), berpendapat bahwa novel adalah cerita yang dibuat berdasarkan pengamatan penulis terhadap kenyataan. Kenyataan tersebut tidak diterima begitu saja namun melaluinya, penulis menganalisis dan mengkritik kehidupan sosial budaya pada zamannya. Persis di sinilah pergulatan intelektualitas penulis dalam kaitan dengan kondisi sosial budaya masyarakat di mana ia tinggal. Ibarat sebuah perjalanan yang berliku-liku, tidak selalu mulus begitu pula pergulatan penulis berhadapan dengan budaya di mana ia tinggal.

Novel Pater Pancali, yang selanjutnya disingkat (PP) dan Semasa Kecil di kampung, yang selanjutnya disingkat (SKdK) adalah novel yang menceritakan kehidupan di India dan Minangkabau. Novel Pater Pancali, ditulis oleh Bithutibhushan Banerji pada 1929.  Novel ini mengisahkankan kehidupan dua orang anak bernama Durga dan adiknya Apu yang tinggal di suatu keluarga berkasta brahmana namun dengan kondisi ekonomi yang rendah. Pergulatan intelektualitas pada novel ini tampak pada diri tokoh Apu yang selalu bertanya kenapa dan bagaimana sesuatu terjadi dan pengaruh dari keluarga ibunya yang lebih mementingkan perjodohan dari anak-anaknya ketimbang Pendidikan.

Sedangkan di novel Semasa Kecil di kampung berisi peristiwa suka dan duka masa kecil Radjab di Minangkabau. Buku yang ditulis oleh Muhammad Radjab ini diterbitkan pada tahun 1950. Buku ini menguak kisah tentang takhayul, mitos-mitos, tragedi, perayaan, dan perdebatan dalam tradisi di Minangkabau. Pergulatan terjadi ketika Radjab mencoba memeluk modernisasi tetapi di pihak lain mencoba keluar dari bayang-bayang takhayul dan mitos-mitos dalam tradisi perayaan Minangkabau. Modernisasi mulai diketahui Radjab setelah terjadinya perang padri yang awalnya disebabkan oleh perbedaan prinsip antara kaum Padri dan kaum Adat. Hingga akhirnya Radjab menulis novel ini untuk menuangkan pikirannya tetapi dalam bentuk cerita. 

2. Pergulatan Intelektualitas dalam novel Pater Pancali dan Semasa Kecil di Kampung

       Sekilas kita mungkin berpikir bahwa dua novel ini hanya menceritakan kisah sehari-hari. Akan tetapi, kedua novel ini juga berisi sesuatu yang lebih dari sekedar cerita sehari-hari yakni keduanya memberikan kritikan secara tak langsung akan beberapa hal. Berikut beberapa kritikan dalam novel Semasa Kecil di Kampung dan Pater Pancali.

2.1 Apatisme terhadap Pendidikan

       Pendidikan merupakan salah satu hal yang penting dalam kehidupan manusia. Melalui pendidikan, wawasan kita semakin luas dan kita dapat melihat dunia luar yang mungkin belum sempat kita jangkau serta pemikiran yang mulai bertransformasi. Namun, beberapa kepercayaan di kalangan masyarakat telah menutup pendidikan kepada generasi masa depan. Pandangan ini pun menjadi stigma di kalangan masyarakat dalam novel Semasa Kecil di Kampung yang diekspresikan dalam kalimat berikut: “Kini generasi muda mereka cegah belajar, sewaktu pintu sekolah terbuka selebar-lebarnya.” (SKdK, hal 18). Melalui kutipan ini, kita dapat melihat jembatan yang menghubungkan anak-anak dengan pengetahuan baru telah diputuskan oleh kepercayaan generasi tua.  

Muhammad Radjab menuliskan pada halaman yang sama, “Demikianlah beribu-ribu anak yang sebaya dengan saya di Minangkabau pada masa itu digelapkan dan dirusakkan masa depannya oleh orang tuanya yang kurang pengetahuan, yang memberikan persiapan keliru untuk keberuntungan anaknya di belakang hari.” Terlihat Muhammad Radjab menyayangkan kehidupan anak-anak pada masa itu yang dipatahkan jalannya menuju pendidikan karena takhayul dan mitos-mitos yang turun dari nenek moyang dan terus dipertahankan orang tuanya.

Dalam cerita Pater Pancali, tokoh Durga yang merupakan seorang anak perempuan yang tidak pernah disekolahkan sampai akhir hidupnya. Kedua orang tuanya hanya fokus menyekolahkan adik laki-lakinya. Mereka selalu berusaha menikahkan Durga secepat mungkin untuk membantu kondisi ekonomi keluarga mereka. Ibu Durga berpikir jika ia dan suaminya segera mengawinkan Durga dengan anak orang kaya, maka harapan-harapan bahwa keadaan mereka akan menjadi baik dapat terwujudkan (PP, hal 301). Cara pandang seperti itu memang bisa saja terjadi, bahkan budaya patriarki yang menimbulkan masalah diskriminasi terhadap perempuan sering terjadi, bukan hanya di India. Realitas seperti ini  pun ditemukan di Manggarai, yakni perendahan martabat perempuan, yang diistilahkan dengan ungkapan “ wai weta papi, tendang nara leca”, yang bermakna menikahkan anak perempuan diyakini dapat menopang perekonomian keluarga, sebab mas kawin dalam pernikahan dapat memperkaya saudara yang merupakan penerus dan penopang keluarga (Janggur, 2010:118). Perempuan dianggap sebagai aset yang dapat digunakan pada waktu yang tepat. Menyekolahkan perempuan dianggap sebagai sesuatu yang merugikan karena ujung-ujungnya akan menjadi bagian dari keluarga laki-laki dan mengelolah kehidupan keluarga bagian dapur.

 Pandangan budaya ini semakin didukung dengan SDM rendah yang dimiliki perempuan akibat rendahnya pemahaman yang tidak ditopang oleh pendidikan yang baik yang mengarah pada pembentukan perempuan yang berkarakter. Menurut Martin Luter King dalam Tapung (2013: 18) urgensitas pendidikan adalah mengajarkan seseorang untuk berpikir kritis dan intensif. Kecerdasan dan karakter, itulah tujuan pendidikan sesungguhnya. Berdasarkan pandangan tersebut pendidikan tidak hanya bertujuan pada ranah kognitif atau psikomotorik, namun kembali pada proses penyadaran akan kodratnya sebagai manusia. Hal ini pun searah dengan pandangan pendidikan sebagai proses memanusiakan manusia. Sejalan dengan pandangan tersebut,  dapat disimpulkan bahwa arah pendidikan  untuk  dua hal, pertama, upaya ‘hominisasi’, yaitu pembentukan seseorang menjadi pribadi yang memahaminya dirinya, serta tahu dan sadar menempatkan dirinya dalam segala sesuatu. Kedua, ‘humanisasi, yaitu  upaya untuk mengembangkan pribadinya menjadi manusia yang sempurna dan manusiawi, sehingga seseorang dapat lebih memahami kodratnya sebagai manusia yang didukung dengan hak-hak yang melekat untuk mempertahankan eksistensinya. Pandangan ini tentunya akan mambantu pembentukan pola berpikir perempuan dalam membentuk kesetaraan, karena kodrat yang melekat dalam dirinya sama dengan laki-laki, yakni sebagai “manusia”.

Tampak bahwa kedua penulis novel ini mencoba membenturkan nilai-nilai modernitas dengan tradisi kebudayaan setempat. Di satu sisi keduanya tetap berusaha menghormati nilai-nilai budaya masyarakatnya sambil tetap kritis akan pembodohan oleh sistem kebudayaan itu sendiri. Di sisi lain, keduanya berusaha merangkul nilai-nilai modernitas dan menggunakannya untuk mengubah sikap apatisme terhadap pendidikan. Menurut mereka, pendidikan adalah proses memanusiakan manusia sebagai subjek. Pengaruh pemikiran modern di sini lebih kepada penekanan pada otonomi manusia sebagai subjek. Seperti kata Tapung (2013:20) Pendidikan berlangsung di antara pribadi-pribadi sebagai subjek.  Dalam hal ini pendidikan menjadi proses perubahan pola pikir dan pengembangan yang mendasar pada sisi kehidupan. 

Pendidikan tidak hanya sekedar belajar membaca dan menulis tetapi juga dapat mengubah pola pikir agar dapat berguna tidak hanya pada masa itu tetapi juga untuk masa depan. Kepercayaan serta pola pikir kuno orang tua pada masa itu telah merusak kesempatan besar bagi anak-anak mereka. Pergulatan antara budaya dan pendidikan inilah yang dituangkan Banerji dan Muhammad Radjab dalam novel mereka.

2.2 Potret Kritik Sosial dan Budaya dalam Novel Pater Pancali dan Semasa Kecil di Kampung

Karya sastra adalah hasil pergumulan penulis terhadap realitas kehidupan pada zamannya.  Karya sastra akan tumbuh dan didasarkan pada bagaimana penulis dapat memaknai realitas yang disalurkan melalui permainan bahasa. Pada satu pihak sebagai apresiasi terhadap kenyataan-kenyataan yang seirama dengan cara pandang dan pola pikir penulis. Pada pihak lain sebagai bentuk penolakan dan kritikan terhadap realita sosial yang dibentuk oleh kebudayaan yang dianut, yang tidak mampu disuarakan secara frontal. Oleh sebab itu, tidak heran jika dikatakan karya sastra merupakan media pengaduan yang tepat untuk setiap pergumulan yang terjadi.

Novel Pater Pancali dan Semasa Kecil di Kampung menjadi bagian dari sejarah pergumulan yang dialami penulis. Setiap bagian dikisahkan untuk menyuarakan pemberontakan hingga penolakan terhadap realitas yang terjadi melalui permainan diksi dalam kajian sastra. Penulis seolah berusaha mengubah cara pandang, namun pada akhirnya harus kembali dikalahkan dengan kuatnya eksistensi budaya yang berdampak pada kehidupan sosial. Pada akhirnya, coretan-coretan kertas menjadi pemenang untuk menyuarakannya. Berikut bentuk kritik sosial dan budaya dalam novel Pater Pancali dan Semasa Kecil di Kampung.

2.2.1 Diskriminasi terhadap Perempuan

    Novel Pater Pancali dan Semasa Kecil di Kampung mengangkat nilai moral yang memiliki peralihan mendasar bagi perempuan untuk dikekang dan tunduk pada tradisi setempat. Di satu bagian dalam novel Pater Pancali, persoalan perkawinan menjadi sorotan. Diceritakan suami Indir Thakrun yang mempunyai banyak istri mengunjunginya dan tinggal tidak lebih dari semalam atau dua malam lalu pergi menikahi gadis dari desa lain setelah mengumpulkan semua uang Indir yang menurut adat memang menjadi miliknya. “Pada beberapa kesempatan ia memang datang, di situ ia tinggal tidak lebih dari semalam-dua malam, dan sesudah mengumpulkan semua uang yang menurut adat memang menjadi miliknya, dicoretlah olehnya desa itu dari daftarnya dan pergilah ia dengan kulinya ke desa berikutnya, dan di sana ia kawin pula.” (PP, hal 6). Hal ini tentu sangat tidak adil bagi Indir. Walaupun semua uangnya diambil dan suaminya jarang menemuinya bahkan pada akhirnya menceraikannya. Akibatnya, ia menjadi seorang janda dan harus menjalankan puasa. Di lain pihak mantan suaminya menikmati hasil keringat Indir dan pernikahan barunya.     Apakah yang harus dilakukan Indir? Ya, pada akhirnya ia tidak bisa berbuat apa-apa karena adat sudah mengaturnya seperti itu. Suaranya tidak akan didengarkan dan gejolaknya untuk menuntut keadilan justru dianggap sebagai penyimpangan. Kebiasaan ini menjadi pemenuhan adat yang wajib dilaksanakan. Kembali, kekuatan budaya mengalahkan keadilan dan kesetaraan terhadap perempuan.

Sekilas juga terdapat dalam novel Semasa Kecil di Kampung. Dalam novel tersebut ada seorang syekh yang berbini lebih dari empat. Menurut syariat Islam hal itu tidak diperbolehkan oleh karena itu syekh ini menceraikan istri yang lain agar tidak lebih dari empat. “Tetapi sayang bagi perempuan yang diceraikan: jarang orang lain mengawini janda itu, takut ketularan. Banyak benar janda syekh yang tidak kawin lagi.” (SKdK, hal.118). Pada dasarnya hal ini menandakan ketidakadilan bagi perempuan karena laki-laki memiliki hak lebih dalam perkawinan. Ini disebabkan karena kebiasaan yang terus menerus dilakukan walaupun ketidakadilan tampak jelas di depan mata. Meskipun begitu, perempuan pada saat itu tidak berani bertindak, mereka lebih memilih untuk mematuhi aturan kebudayaan yang ada. Selain karena suara mereka yang tidak didengar, mereka juga tidak punya keberanian untuk memperjuangkan kebebasan mereka.

 Pada bagian lain yang menjadi sorotan, masih dalam potret diskriminasi terhadap kaum perempuan, terjadi tindakan kekerasan terhadap perempuan. Hal ini digambarkan dalam sebuah kutipan “Ia mengangkat tangan ke atas kepala untuk menangkis pukulan dan merendahkan tubuhnya, menempel ke dinding. Ia ketakutan.” (PP, hal 144).  Kutipan ini menggambarkan tindakan bela diri seorang istri terhadap tindakan kekerasan yang dilakukan suaminya karena tidak melakukan tugasnya dengan baik. Namun, pertanyaan lebih tepatnya adalah, pelaksanaan tugas tidak baik dari sudut pandang siapa? Pada kenyataannya, perempuan dipaksa mendominasi pekerjaan rumah tangga dan menjadi pengasuh anak. Semua kesalahan dan kekurangan dalam situasi rumah dianggap sebagai kesalahan perempuan semata, sementara di lain pihak jika disoroti dari kodratnya sebagai sesama manusia tidak ada pemetaan khusus yang membagi hal itu. Hal ini berarti perempuan dan laki-laki dapat melakukan hal yang sama tanpa dibedakan dari segi gender. Selain itu, pemaknaan perkawinan sebagai penyempurnaan akan keutuhan kehidupan dengan saling melengkapi hanya menjadi slogan, ketika yang terjadi adalah kesempurnaan itu hanya dimiliki oleh salah satu pihak. Proses tindakan sosial sudah lari jauh dari yang sewajarnya. Secara garis besar manusia sebagai makhluk sosial yang memahami bentuk dan tindakan sosial. Perlukah aksi kekerasan dalam nilai kehidupan sosial jika penghayatan nilai sosial masih disepelekan?

2.2.2 Demitologisasi

Kedua novel ini menyajikan catatan sejarah terhadap peradaban. Kehidupan diwarnai dengan kultur yang seolah menjadi nafas dan tuntunan yang menghidupi masyarakat. Kesadaran yang mempertahankan segala bentuk tindakan melahirkan dasar yang kuat dalam pertahanan namun tidak seperti biasanya karena hal ini bergantung pada komitmen akan kultur dari masing-masing individu. Kehidupan masyarakat yang digambarkan pada kedua novel tidak terlepas dari yang namanya mitos. Masyarakat yang percaya terhadap mitos dan takhayul menjerumuskan mereka dalam tindakan yang mengunci kebebasan mereka sendiri. Bentuk ancaman itu sendiri dirasakan bahkan dialami.

Temuan-temuan berupa ungkapan yang menjadi potret berkembangnya mitos merasuki setiap ruang gerak masyarakat. Bahkan, peristiwa alam yang dapat dijelaskan dengan temuan-temuan pendidikan dipandang dari sisi mitos, misalnya “Orang tua-tua mengatakan bahwa asal gempa itu ialah telinga lembu, yang memikul bumi ini, sedang digigit nyamuk. Kami yang bersekolah tidak percaya lagi bahwa bumi datar dan di bawahnya seekor lembu besar memikulnya.” (SKdK, hal 140). Kutipan ini dapat menjadi bukti bahwa, takhayul yang dipercayai masyarakat pada saat itu membuat mereka tidak bisa keluar dari kekhawatiran yang sebenarnya tidak perlu dipikirkan lagi. Kekhawatiran ini menyengsarakan diri sendiri hingga akhirnya menjerumuskan diri dalam kepanikan. Muhammad Radjab juga menyinggung tentang pemikiran kuno masyarakat pada saat itu. Mereka percaya bahwa gempa yang terjadi ini disebabkan oleh beberapa takhayul.  “Tetapi orang yang percaya takhayul masih khawatir, karena gempa ini, katanya, pelopor kekacauan dan keributan yang bakal terjadi.” (SKdK, hal 143). Proses demitologisasi di sini tampak pada mereka yang bersekolah tidak percaya lagi dengan mitos-mitos para orang tua mengenai bumi datar karena pengetahuan mereka tentang bumi dan segala isinya telah diperkaya melalui pendidikan. Namun, pada akhirnya hanya dapat mengubah paradigma berpikirnya sendiri, karena kekuatan kebudayaan yang masih mendominasi kepercayaan terhadap mitos dan takhayul.

     Sementara itu, dalam novel Pater Pancali terdapat kisah tentang kutukan yang dalam keluarga Brahmana Ray akibat perbuatan nenek moyang mereka. Ibu Harihar Ray ingin kutukan tersebut tidak terjadi pada anaknya hingga akhirnya seorang suci memberikannya sebuah jimat untuk menghapus kutukan itu. “Apakah karena kekuatan jimat atau karena kutukan Tuhan, telah kehilangan kekuatannya seperti kapur barus yang menguap, sesudah dua Angkatan, Harihar Ray tetap hidup….” (PP, hal. 18). Dari kutipan ini, kita dapat melihat pergulatan yang terjadi dalam diri Banerji bahwa ia tidak percaya sepenuhnya terhadap jimat itu dengan berpikir bahwa hilangnya kutukan itu juga merupakan hasil dari campur tangan Tuhan atau bahkan apakah kutukan itu memang ada.

     Kepercayaan terhadap takhayul dan mitos-mitos yang menyebar di masyarakat mencegah mereka untuk berpikir terbuka dan bebas tanpa rasa khawatir ataupun takut. Masyarakat terjebak dalam pemikiran kuno yang selalu berkata ‘jangan ini’ atau ‘jangan itu’ hingga akhirnya tindakan serta pemikiran mereka pun terkekang dalam alasan yang tidak masuk akal. 

3. Catatan Kritis terhadap Potret Pergulatan Intelektual versus Budaya

   Manusia adalah agen kebudayaan sekaligus penentu eksistensi kebudayaan itu sendiri. Manusia bertumbuh dan berkembang dalam kebudayaan sekaligus turut membentuk dan membaharuinya dari dalam.  Oleh karena itu, manusia sama sekali tidak dipenjara oleh kebudayaannya. Sebaliknya, karena perkembangan intelektualitasnya manusia turut andil mentransformasi kebudayaan itu sendiri pada levelnya yang tertinggi. Pengaruh pemikiran di era modern hendaklah dilihat secara positif sebagai pisau analisis untuk menilai norma-norma budaya dalam masyarakat secara kritis. Pada akhirnya kita tetap yakin bahwa kebudayaan adalah identitas asal yang telah menjadi bagian sejarah kehidupan seseorang yang tidak dapat ditinggalkan begitu saja (Abdullah, 2006:43). Manusia tidak perlu mengikari kebudayaannya demi merangkul pengaruh perkembangan dunia di era modern sekarang ini meskipun dalam taraf tertentu memang harus bertransformasi agar menjamin nilai-nilai kemanusian tetap ditegakkan.

Meskipun demikian, tetap diakui bahwa pergumulan intelektualitas manusia justru terletak pada upaya untuk tetap mempertahankan norma-norma kebudayaan masyarakatnya sambil tetap merangkul nilai-nilai yang di bawah oleh pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan di era modern ini. Merangkul nilai-nilai ini juga berarti mampu menyikapi konsekuensi gesekan yang terjadi akibat benturan-benturan yang terjadi antara pola pemikiran yang baru dengan pola pemikiran yang lama.

Perlu diakui pula bahwa memang ada pola pemikiran lama dalam kebudayaan kita yang coba mengekang kebebasan intelektual bahkan kehidupan sosial kita. Dengan adanya pengaruh perkembangan di era modern, beberapa budaya yang mengekang itu mulai bertransformasi. Era modern ini memberikan persediaan ilmu yang semakin meluas bagi manusia, sehingga pemikiran manusia tentang dunia mulai terbuka. Seperti halnya penulis novel Pater Pancali dan Semasa Kecil di Kampung yang mulai menyadari bahwa terdapat beberapa budaya serta kehidupan sosial yang seharusnya tidak seperti itu namun tidak bisa mereka kritik secara blak-blakan hingga akhirnya dituangkan dalam karya sastra. 

Namun, bisakah kita mengatakan bahwa budaya yang mengekang itu salah? Entah mengekang atau tidak hal itu sudah menjadi bagian dari budaya oleh karena itu bagi beberapa orang susah untuk dilepas. Dari sinilah perasaan yang bercampur aduk (dilema) membengkak. Di satu sisi, budaya dapat mengatur tindakan kita dalam kehidupan bersosialisasi agar tidak melenceng dari norma-norma yang berlaku tetapi di sisi lain, budaya mengekang kebebasan beberapa individu dalam berpikir dan bertindak sehingga mereka terjebak dalam beberapa budaya yang mengekang. Begitu juga modernisasi yang dapat membuka pemikiran kita tapi di sisi lain modernisasi tetap tidak bisa menghapusnya. Kita tidak bisa menyalahkan budaya serta kehidupan sosial yang ada tetapi kita juga bisa merasakan bahwa perubahan ini ada benarnya. Selain itu, kita pun harus menyadari bahwa pada kenyataannya, salah satu matra dasar pendidikan adalah budaya, sebab pendidikan bertujuan supaya seseorang dapat mengelolah diri dan dunianya untuk disumbangkan bagi peradaban manusia secara mondial. Jadi, aktivitas pendidikan senantiasa berusaha agar manusia dalam dirinya terintegrasi secara mendalam nilai-nilai budaya.

Budaya dapat menjadi manusia semakin beradab dan bermartabat secara nyata dan konkret (Tapung, 2010:21). Pada akhirnya, kita akan terus berada pada liku-liku perjalanan menuju pencerahan dan menyuarakan’Omong kosong bahwa kita mesti mengunjungi seluruh dunia ini agar dapat merasakan kegembiraan akan sesuatu yang tidak bisa kita ketahui (PP, hal. 164)’’. Sebab, pada kenyataannya kita akan terus kembali pada tempat di mana kita dibentuk dan mendalami pendidikan yang sebenarnya dengan memulainya melalui merefleksikan yang terjadi di sekitar kita, salah satunya kebudayaan yang menjadi tolak ukur dalam pemaknaan kehidupan. Sehingga, pendidikan sebagai awal modernisasi kita dapat menyuarakan‘’ Untuk mata kita semua, itu merupakan negeri yang belum ditemukan, dan hari itu untuk pertama kalinya kita merasakan kebaruannya di dalam hati, di dalam pikiran, dan dengan segala perasaan (PP, hal.164).

 

 

Daftar Rujukan

Abdullah, Irwan. (2006). Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Arifian, Florianus D. (2019). Menalar Problem Pendidikan dan Bahasa. Yogyakarta : PT Kanisius.

Banerji. Bithubtibhushan. (2016). Pater Pancali. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Janggur, Petrus.  (2010). Butir-Butir Adat Manggarai. Ruteng: Yayasan Siri Bongkok.

Jenks. Chris. (1993). Culture Studi Kebudayaan. Yogyakarta : Pustaka Pelajar.

Koentjaraningrat, (2004). Kebudayaan, Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Radjab. Muhamad. (2019). Semasa Kecil di Kampung. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Semi. Atur. 91988). Anatomi Sastra. Padang : Angkasa Raya.