Merdeka Baca; Kisah Kecil dari Timur Pertiwi

Maximilian Jefry Eruditus Parus

Sejak masih kanak-kanak, aku sering mendengar kata-kata; “buku adalah jendela dunia”. Di rumah, papa dan mama memberitahuku bahwa di dalam buku-buku yang tersusun rapih di rak kecil kami ada banyak cerita lucu, sedih, superhero, dongeng, dan lain-lain. Di sekolah, aku melihat salah satu ruangan penuh dengan buku, dari yang paling tipis sampai yang paling tebal. Belakangan, setelah aku perhatikan, ruangan itu ternyata bernama Perpustakaan, tempat menyimpan buku-buku bacaan milik sekolah. Semua siswa dapat meminjam buku-buku itu kalau ingin membaca.

Kultur rumah dan sekolah di masa kecil membuatku sangat suka membaca. Tetapi, goncangan besar yang menimpa dunia akhir-akhir ini membuatku pusing tujuh keliling. Tidak ada lagi pemandangan Perpustakaan Sekolah yang sebelumnya menjadi rumah singgah bagiku setiap hari. Pandemi Covid 19 membuat panik semua orang. Bukan hanya pemilik toko, restoran, hotel, pedagang pasar, dan pelaku bisnis yang merasa rugi. Bagiku, pengumuman Long Distance Relationship dengan lingkungan sekolah adalah kekalahan terbesar.

Di sela-sela kelas online yang amat membosankan setiap hari, usaha merawat idealisme dengan membaca adalah hiburan paling mantap. Tetapi, buku-buku di rumah sudah kulahap sebagian besarnya.

Pada tanggal 24 Maret 2021 lalu, Sekretariat SMA Katolik St. Fransiskus Saverius mengumumkan peluncuran dua item baru yang cukup asing di telinga kami sebagai peserta didik. “…besok, Kamis, 25 Maret 2021, akan diadakan peluncuran Lodok Gejur de Saverian dan Digilib SMAK St. Fransiskus Saverius Ruteng”. Kami masing-masing bertanya, ada apa lagi di sekolah, apakah kami akan dibebani dengan semakin banyak tugas belajar di tengah pandemi ini?

Melalui siaran langsung kanal Youtube @smakfx tv, kami menyaksikan peluncuran dua barang baru itu dari rumah. Keduanya diluncurkan secara resmi oleh Bapak Bupati Manggarai, Hery Nabit. Lodok Gejur de Saverian ternyata adalah nama untuk kelompok literasi sekolah yang baru. Kelompok ini dibuat untuk menjemput program nasional Gerakan Literasi Sekolah. Gerakan Literasi Sekolah memang sudah ada sejak lama di sekolah kami, tetapi peluncuran kembali hari itu mencakup penyegaran dalam beberapa halnya. Menariknya, salah satu unsur pendukung kelompok ini adalah Digilib.

Digilib atau Digital Library SMAK St. Fransiskus Saverius Ruteng menjadi angin segar bagi para peserta didik. Sebagai perpustakaan berbasis aplikasi android dan PC, Digilib ini kami unduh melalui playstore di ponsel. Oleh Admin Perpustakaan Sekolah, Ibu Ocha Suwandini, kami diberikan video tutorial pendaftaran dan penggunaanya. Selain itu, kami juga berjumpa secara virtual dengan Admin untuk mendengarkan penjelasan-penjelasan sekaligus memberikan pertanyaan seputar aplikasi tersebut.

Sampai hari ini, kami sudah menggunakan aplikasi Digilib SMAK St. Fransiskus Saverius Ruteng selama lima bulan. Bagi saya dan teman-teman, inilah kemerdekaan belajar riil yang kami rasakan di kolong langit pertiwi. Di layar ponsel, kami bisa memilih buku-buku yang kami sukai. Kami bisa membaca dan meminjam buku-buku dalam batas waktu tertentu.

Buku-buku elektronik tersebut juga bisa kami tandai dengan coretan-coretan pada kalimat yang kami rasa menarik. Selain itu, aplikasi ini juga memiliki item khusus sehingga kami dapat mendengarkan dia membaca buku untuk kami. Kami sangat bergembira karena selain dibantu untuk memahami materi pelajaran, Digilib juga menyediakan bagi kami buku-buku pengetahuan umum yang memperluas wawasan.

Mas Menteri Nadiem Makarim konon sudah jauh-jauh hari memproklamasikan “Merdeka Belajar” sebagai jargon pendidikan Indonesia. Mas Menteri yang kreatif itu menjemput visi kepresidenan Joko Widodo untuk meningkatkan kualitas manusia Indonesia. Dengan merdeka belajar, proses belajar menjadi lebih bebas, kreatif, dan tidak dibelit oleh urusan-urusan prosedural, semisal RPP guru, Ujian Nasional (UN) yang kurang efektif mengukur kualitas peserta didik, dan lain-lain. Memang, prosedur yang berlebihan bisa mengebiri substansi dan konten belajar yang berkualitas dan berdaya guna bagi masa depan pelajar.

Bagi kami, pelajar di timur Indonesia, merdeka belajar tentu lebih sulit dibayangkan ketimbang teman-teman di Pulau Jawa. Kami mengalami banyak kekurangan, mulai dari finansial (ekonomi), akses internet, level melek aksara, sampai pada level kualitas sumber daya manusia (SDM). Bagaimana mungkin kami belajar secara merdeka kalau di banyak bidang kami masih terpenjara?

Di tengah keterbatasan-keterbatasan itu, tidak ada sumbu yang dibiarkan padam jika minyak tetap dipompa. Kami berjuang sekuat tenaga supaya menjadi merdeka. Hanya dengan merdeka, kami bisa belajar, dan hanya dengan belajar, kami bisa merdeka. Di sekolah ini, digilib memfasilitasi kemerdekaan dalam belajar. Kami tidak perlu bersusah payah mencari buku-buku fisik, apalagi di tengah situasi pandemi yang memaksa kami terkurung di dalam rumah. Dari rumah, kami masih tetap produktif, menemukan hal-hal baru, memperluas wawasan, dan menghasilkan karya setelah dibantu oleh digilib. Kami merdeka dalam membaca.

Membaca, kesukaanku sejak kecil, akhirnya mendapat kanalnya di SMA Katolik St. Fransiskus Saverius Ruteng. Aplikasi digilib membuatku bangkit kembali dari keterpurukan akibat pandemi Covid-19. Meski diserang virus mematikan, imun tubuh tetap stabil di rumah, produktivitas kerja juga tetap dijaga. Mari, dengar kisah kami dari timur Pertiwi, sebuah kisah kemerdekaan dalam membaca, meski diterpa berbagai kendala.