- By
- 31 Aug 2021
- 1404
Merdeka Baca; Kisah Kecil dari Timur Pertiwi
Sejak masih kanak-kanak, aku sering mendengar kata-kata;
“buku adalah jendela dunia”. Di rumah, papa dan mama memberitahuku bahwa di
dalam buku-buku yang tersusun rapih di rak kecil kami ada banyak cerita lucu,
sedih, superhero, dongeng, dan
lain-lain. Di sekolah, aku melihat salah satu ruangan penuh dengan buku, dari
yang paling tipis sampai yang paling tebal. Belakangan, setelah aku perhatikan,
ruangan itu ternyata bernama Perpustakaan, tempat menyimpan buku-buku bacaan
milik sekolah. Semua siswa dapat meminjam buku-buku itu kalau ingin membaca.
Kultur rumah dan sekolah di masa kecil membuatku
sangat suka membaca. Tetapi, goncangan besar yang menimpa dunia akhir-akhir ini
membuatku pusing tujuh keliling. Tidak ada lagi pemandangan Perpustakaan Sekolah
yang sebelumnya menjadi rumah singgah bagiku setiap hari. Pandemi Covid 19 membuat panik semua orang. Bukan
hanya pemilik toko, restoran, hotel, pedagang pasar, dan pelaku bisnis yang
merasa rugi. Bagiku, pengumuman Long
Distance Relationship dengan lingkungan sekolah adalah kekalahan terbesar.
Di sela-sela kelas online yang amat membosankan setiap hari, usaha merawat idealisme
dengan membaca adalah hiburan paling mantap. Tetapi, buku-buku di rumah sudah
kulahap sebagian besarnya.
Pada tanggal 24 Maret 2021 lalu, Sekretariat SMA
Katolik St. Fransiskus Saverius mengumumkan peluncuran dua item baru yang cukup
asing di telinga kami sebagai peserta didik. “…besok, Kamis, 25 Maret 2021,
akan diadakan peluncuran Lodok Gejur de
Saverian dan Digilib SMAK St.
Fransiskus Saverius Ruteng”. Kami masing-masing bertanya, ada apa lagi di
sekolah, apakah kami akan dibebani dengan semakin banyak tugas belajar di
tengah pandemi ini?
Melalui siaran langsung kanal Youtube @smakfx tv,
kami menyaksikan peluncuran dua barang baru itu dari rumah. Keduanya
diluncurkan secara resmi oleh Bapak Bupati Manggarai, Hery Nabit. Lodok Gejur de Saverian ternyata adalah nama
untuk kelompok literasi sekolah yang baru. Kelompok ini dibuat untuk menjemput
program nasional Gerakan Literasi Sekolah. Gerakan Literasi Sekolah memang
sudah ada sejak lama di sekolah kami, tetapi peluncuran kembali hari itu
mencakup penyegaran dalam beberapa halnya. Menariknya, salah satu unsur
pendukung kelompok ini adalah Digilib.
Digilib
atau
Digital Library SMAK St. Fransiskus
Saverius Ruteng menjadi angin segar bagi para peserta didik. Sebagai
perpustakaan berbasis aplikasi android dan
PC, Digilib ini kami unduh melalui playstore di ponsel. Oleh Admin Perpustakaan Sekolah, Ibu Ocha Suwandini, kami
diberikan video tutorial pendaftaran dan penggunaanya. Selain itu, kami juga
berjumpa secara virtual dengan Admin untuk mendengarkan penjelasan-penjelasan
sekaligus memberikan pertanyaan seputar aplikasi tersebut.
Sampai hari ini, kami sudah menggunakan aplikasi Digilib SMAK St. Fransiskus Saverius Ruteng
selama lima bulan. Bagi saya dan teman-teman, inilah kemerdekaan belajar riil
yang kami rasakan di kolong langit pertiwi. Di layar ponsel, kami bisa memilih
buku-buku yang kami sukai. Kami bisa membaca dan meminjam buku-buku dalam batas
waktu tertentu.
Buku-buku elektronik tersebut juga bisa kami tandai
dengan coretan-coretan pada kalimat yang kami rasa menarik. Selain itu,
aplikasi ini juga memiliki item khusus sehingga kami dapat mendengarkan dia
membaca buku untuk kami. Kami sangat bergembira karena selain dibantu untuk
memahami materi pelajaran, Digilib juga
menyediakan bagi kami buku-buku pengetahuan umum yang memperluas wawasan.
Mas Menteri Nadiem Makarim konon sudah jauh-jauh
hari memproklamasikan “Merdeka Belajar” sebagai jargon pendidikan Indonesia. Mas
Menteri yang kreatif itu menjemput visi kepresidenan Joko Widodo untuk
meningkatkan kualitas manusia Indonesia. Dengan merdeka belajar, proses belajar
menjadi lebih bebas, kreatif, dan tidak dibelit oleh urusan-urusan prosedural,
semisal RPP guru, Ujian Nasional (UN) yang kurang efektif mengukur kualitas
peserta didik, dan lain-lain. Memang, prosedur yang berlebihan bisa mengebiri
substansi dan konten belajar yang berkualitas dan berdaya guna bagi masa depan
pelajar.
Bagi kami, pelajar di timur Indonesia, merdeka
belajar tentu lebih sulit dibayangkan ketimbang teman-teman di Pulau Jawa. Kami
mengalami banyak kekurangan, mulai dari finansial (ekonomi), akses internet, level
melek aksara, sampai pada level kualitas sumber daya manusia (SDM). Bagaimana mungkin
kami belajar secara merdeka kalau di banyak bidang kami masih terpenjara?
Di tengah keterbatasan-keterbatasan itu, tidak ada
sumbu yang dibiarkan padam jika minyak tetap dipompa. Kami berjuang sekuat
tenaga supaya menjadi merdeka. Hanya dengan merdeka, kami bisa belajar, dan
hanya dengan belajar, kami bisa merdeka. Di sekolah ini, digilib memfasilitasi kemerdekaan dalam belajar. Kami tidak perlu
bersusah payah mencari buku-buku fisik, apalagi di tengah situasi pandemi yang
memaksa kami terkurung di dalam rumah. Dari rumah, kami masih tetap produktif,
menemukan hal-hal baru, memperluas wawasan, dan menghasilkan karya setelah
dibantu oleh digilib. Kami merdeka
dalam membaca.
Membaca, kesukaanku sejak kecil, akhirnya mendapat
kanalnya di SMA Katolik St. Fransiskus Saverius Ruteng. Aplikasi digilib membuatku bangkit kembali dari
keterpurukan akibat pandemi Covid-19. Meski
diserang virus mematikan, imun tubuh tetap stabil di rumah, produktivitas kerja
juga tetap dijaga. Mari, dengar kisah kami dari timur Pertiwi, sebuah kisah
kemerdekaan dalam membaca, meski diterpa berbagai kendala.