BERGERAK MAJU DI BAWAH TEKANAN; Tentang Sekolah Daring di Masa Covid-19


(Fr Anno Susabun)

“Covid-19 mengajak perang, dan kita akan menjadi pemenang kalau gemar mengatur taktik”

Hari-hari ini, pandemi Covid-19 belum juga menunjukkan tanda-tanda akan jinak. Kendati dihibur oleh penemuan vaksin, kita tetap dihantui rasa takut dan cemas, sebab setiap hari kita menyantap banyak berita tentang kenaikan angka pasien (korban terpapar corona). Alhasil, kemacetan terjadi di banyak bidang kehidupan; sosial, ekonomi, politik, pendidikan, dan sebagainya. Secara sosial kita mengalami benturan hebat karena terpaksa harus ‘menjauhi’ sesama manusia. Lebih lanjut, ekonomi masyarakat yang masih belum cukup akhirnya terseok-seok oleh berkurangnya pendapatan (Bdk. hasil penelitian Tapung, dkk). Program-program politik demi kesejahteraan bersama juga macet akibat fokus anggaran yang sebagian besar mendanai bidang kesehatan. Tulisan ini secara khusus merefleksikan kendala-kendala proses pendidikan di lingkungan sekolah dan potensi yang perlu kita gali bersama demi menjaga efektivitas proses belajar.

Di tengah makin parahnya penyebaran Covid-19 di sekitar kita, sekolah daring menjadi satu-satunya pilihan. Sebelum pandemi merebak, kita bisa belajar di dalam ruang kelas yang akrab bersama dengan guru dan teman-teman. Proses belajar menjadi lancar dan kita bisa saling membantu serta saling melengkapi keterbatasan masing-masing demi perkembangan bersama. Belajar bersama secara berkelompok menjadi momen yang ditunggu-tunggu, karena di dalamnya kita bisa berbagi pengetahuan dan pengalaman yang memperkaya wawasan. Dalam perjumpaan fisik itu juga, kita tidak hanya menimba kekayaan pengetahuan kognitif tetapi juga dimensi emosional, spiritual dan kepribadian.

Saat ini, dilema kita adalah bagaimana mempertahankan berlangsungnya proses belajar yang menarik itu ketika menjaga jarak fisik menjadi suatu keharusan. Pertanyaan penting untuk kita adalah; apakah proses belajar harus dihentikan karena kita tidak dapat berjumpa secara fisik? Atau apakah kita menunggu situasi yang kondusif, yaitu ketika corona sudah jinak, untuk melanjutkan sekolah?

Mengelola tekanan, menggali potensi

Covid-19 benar-benar menekan kita dari segala sisi. Seperti sedang dikepung musuh, kita cemas dan hampir tidak dapat berpikir tentang ke arah mana kita akan melarikan diri. Tetapi, apakah kita memang tidak diberikan potensi untuk memikirkan taktik perang?

Covid-19 hadir persis ketika inovasi teknologi 4.0 sedang gencar dikampanyekan. Teknologi 4.0 yang merambah segala bidang kehidupan manusia seperti sedang mengalami pencobaan ketika pandemi mengharuskan dia berjalan maju lebih jauh. Dalam hal ini, pandemi bisa dipandang sebagai kompor yang menyalakan sumbu optimisme dan kerja keras kita dalam mengikuti alur perkembangan dunia yang semakin cepat. Dengan kata lain, kontribusi pandemi ini bagi kehidupan manusia tampak dalam hal memaksa kita untuk bergerak makin cepat, merebut kendali atas perkembangan dunia modern.

Sampai pada titik ini, apa sebenarnya yang menjadi tantangan kita? Pandemi atau penguasaan teknologi 4.0? Ketika pandemi menjadi kenyataan yang tidak dapat dielak, penguasaan teknologi menjadi keharusan. Membiarkan diri kita gagap teknologi sama artinya dengan memberikan kesempatan kepada Covid-19 untuk menjajah kita semakin lama. Cita-cita Covid-19 untuk membuat kita tidur lelap tanpa kerja akan tercapai ketika potensi teknologi tidak dapat kita kelola sebagai kekayaan.

Tantangan kita sesungguhnya saat ini adalah penguasaan teknologi yang masih minim. Sambil terus mengupayakan vaksinasi virus corona, kita tentu saja masih bisa bekerja sebagaimana mestinya. Di dalam jejaring komunikasi virtual kita bergerak untuk menjaga proses kerja tetap berlangsung meskipun tanpa perjumpaan fisik. Hal ini tentu saja harus disertai dengan perubahan cara pandang kita terhadap kerja daring, bahwa tanpa berjumpa secara fisik kita masih tetap produktif dalam segala bidang. Covid-19 yang mengajak kita berperang hanya akan dikalahkan jika kita gemar mengupayakan strategi baru yang tidak biasa, yaitu tata kelola teknologi 4.0, yang bahkan menjadi ketakutan kita sebelumnya.

Sekolah daring; siapa takut?

Kalau pandemi Covid-19 adalah misteri, maka kita dipersilakan untuk keluar dari dunia ini dan menemukan solusi di alam yang lain. Tetapi, pandemi ini adalah masalah duniawi, yang solusinya juga tentu saja disediakan oleh dunia. Dalam menghadapi situasi pandemi, pelajar tidak boleh takut, sebab ketakutan hanya akan membuat kita tinggal diam, lalu tidak mampu memikirkan jalan keluar. Pandemi yang menekan harus menjadi tumpuan bagi kita untuk menggali potensi yang mungkin dapat membantu proses belajar. Potensi itu adalah teknologi komunikasi dan informasi yang kian melesat maju.

Dalam suatu kesempatan diskusi, seorang siswa mengeluh tentang pemahaman yang terbatas akibat penjelasan materi secara daring. Keluhan seperti ini tampaknya masuk akal, tetapi jika dibiarkan sebagai keluhan akan mengganggu optimisme sekolah daring. Teknologi informasi dan komunikasi mesti dikelola secara baik supaya perjumpaan daring berdaya guna bagi pengembangan pengetahuan dan pengalaman. Untuk maksud tersebut, ada dua hal penting yang perlu kita petik;

Pertama, teknologi sudah memfasilitasi kita untuk berjumpa secara daring. Materi pembelajaran, baik yang tertulis maupun lisan (video pembelajaran dan Google meeting) dapat kita akses bersama melalui aplikasi yang disediakan oleh negara melalui sekolah. Dengan demikian, kita semakin dipermudah untuk berkomunikasi dengan guru dan teman, membagi pengetahuan dan pengalaman, serta bekerja sama memecahkan soal dan kebingungan ilmiah lainnya.

Kedua, sekolah daring menjadi ajang pencobaan, di mana kita dituntut untuk menjadi guru dan siswa yang aktif. Guru dan siswa yang aktif selalu ada dalam situasi pencarian, tidak pernah merasa puas atau penuh dengan pengetahuan. Dunia yang bergerak cepat tidak dapat kita hentikan, yang dapat kita buat adalah menggali potensi-potensi yang tersedia untuk mengakses pengetahuan demi perkembangan diri dan kemajuan bersama. Teknologi memberi kita kemungkinan untuk menemukan jalan keluar bagi kesulitan-kesulitan hidup, termasuk kesulitan memecahkan soal pembelajaran. Namun kita perlu mengolah informasi yang disediakan teknologi secara kritis agar tidak menjadi hoaks yang dipelihara di lingkungan sekolah.

Di samping itu, kita juga terus bekerja sebagai masyarakat yang aktif menuntut hak sebagai warga negara. Kemajuan teknologi 4.0 yang seringkali digaungkan pemerintah harus berjalan beriringan dengan kebijakan yang adil dan merata di semua wilayah. Tugas utama pemerintah di bidang pendidikan era teknologi 4.0 bukan lagi menyediakan materi ajar, tetapi memungkinkan materi ajar itu dapat diakses semua siswa. Dengan kata lain, tugas pemerintah adalah menjamin tersedianya jaringan internet yang lancar dan hemat bagi pelajar yang sedang berjuang membangun Indonesia di masa depan. Sekolah daring; siapa takut?

 

“Teknologi tidak akan menggantikan guru yang hebat, tetapi teknologi di tangan guru yang hebat akan menjadi transformasional” (George Couros)

“Milenial yang hebat adalah milenial yang tidak pernah ingin berhenti belajar” (NN)

 

Jaya Selalu Saverian…